Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Tanpa Pacaran: Alasan untuk Menikah Dini?

23 Mei 2020   14:29 Diperbarui: 23 Mei 2020   14:24 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : ibtimes.id

Sinetron itu sebenarnya sangat bagus untuk dipertontonkan kepada anak remaja( bahkan anak remaja sekarang)  yang ingin memutuskan untuk segera menikah. Pernikahan dini di saat sekarang ini tak jarang akan meningkatkan angka perceraian. Hal ini dikarenakan, setelah menikah, mereka baru akan tersadar bahwa kehidupan pernikahan tidaklah seindah yang mereka bayangkan. Kata seorang teman, menikah itu ibarat sangkar emas. 

Kita yang di luar ingin masuk ke dalamnya, namun yang di dalam malah ingin keluar, benar atau tidaknya tentu tergantung dari orang-orang yang telah menjalaninya. Setelah menikah, mereka akan tersadar bahwa menjadi seorang suami atau istri berbeda dengan seorang pacar. 

Suami harus mencari nafkah dan istri harus mengurus keluarga, melahirkan, dan tentunya tidak ada lagi waktu untuk hang out bersama teman-teman di pusat perbelanjaan ataupun mabar( main bareng) game daring bersama teman-teman seusianya. jika dulu kakek-nenek kita dapat bertahan dalam pernikahan usia dini, hal tersebut dikarenakan mereka benar-benar memegang teguh janji suci pernikahan sampai maut memisahkan. pada zaman mereka perceraian adalah sebuah aib dan ketidaklaziman, berbeda dengan saat ini yang dianggap sebagai suatu hal yang lumrah bila kedua pasangan tidak lagi memiliki kecocokan. 

Dari segi kesehatan, perempuan yang menikah dini memang sudah dapat bereproduksi, namun hal ini juga dapat membahayakan kesehatan si wanita itu sendiri. Saya teringat dengan perkataan guru Biologi SMA saya dulu bahwa wanita yang mengandung di usia muda ibarat kita memetik buah di pohon sebelum matang (maaf, saya guru IPS, jadi kalau salah mohon dimaklumi) sehingga berpotensi untuk merusak pohon di kemudian hari dalam hal ini sangat berisiko bagi si perempuan. Apalagi jika telanjur hamil di luar nikah dan diputuskan untuk aborsi, tentu risiko bahaya akan lebih tinggi lagi terhadap si wanita.  

Dengan menikah usia muda, pendidikan perempuan otomatis terhenti karena harus mengurus keluarga dan akhirnya sangat bergantung secara ekonomi terhadap suami. Pada akhirnya, ketika terjadi KDRT, wanita tidak akan berani untuk melawan bahkan berpisah dari pasangannya karena tidak mampu hidup mandiri karena tidak bekerja akibat tidak memiliki pendidikan yang memadai (akhirnya kisah si wanita akan diceritakan dalam bentuk sinetron yang menceritakan suara hati istri yang terzolimi). 

Dari segi pertambahan penduduk, menikah di usia muda tentu saja sangat kontraproduktif dengan Program KB yang dicanangkan pemerintah. Saya jadi teringat dengan nenek saya yang menikah di usia 18 tahun sehingga saya memiliki paman dan bibi berjumlah 8 orang, kakek saya sebenarnya memiliki istri (yang kemudian meninggal dunia) sebelum menikahi nenek saya dan mewariskan 6 anak. So, total paman dan bibi saya berjumlah 14 orang. Jadi, bisa dibayangkan betapa ramainya keluarga besar kami ketika merayakan Imlek ataupun hari besar lainnya.

Pacaran pada usia remaja memang cenderung membuat mereka tergoda melakukan zina, namun mendorong pernikahan langsung tanpa pacaran juga bukanlah hal yang benar. Ingat kembali Salmafina yang menikah dengan Taqy Malik yang berakhir dengan perceraian, bukankah mereka juga tanpa pacaran? Hal yang harus kita lakukan adalah justru menggencarkan sosialisasi bahwa pacaran adalah sebuah tahapan untuk saling mengenal hingga akhirnya mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan, bukan sekadar jalan bersama, nonton bersama, dan aktivitas romantis lainnya. Selain itu, pendidikan seks harus diajarkan sesuai dengan porsi usia agar anak-anak remaja kita tidak tersesat oleh mitos-mitos salah yang selama ini banyak beredar di masyarakat.

Orang tua cenderung menganggap pendidikan seks sebagai suatu hal yang tabu sehingga akhirnya anak remaja mencari tahu dari media yang salah dan malah menjerumuskan mereka dalam perilaku seks bebas. Pemerintah telah bertindak tepat dalam merevisi UU Perkawinan yakni minimal 19 tahun untuk mencegah terulangnya pernikahan dini, namun sebenarnya yang berperan penting sebagai garda depan adalah keluarga. 

Jika keluarga tidak merestui tentu pernikahan tidak akan terjadi. Mengizinkan pernikahan dini sama artinya dengan keluarga mengabaikan fungsi mereka sebagai pelindung bagi anak-anak. KPAI sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak anak seharusnya juga lebih berperan dalam mensosialisasikan bahaya pernikahan dini terutama untuk anak perempuan ketimbang selalu menanggapi keluhan anak mengenai beratnya tugas sekolah, sulitnya soal UN, dan kejamnya guru dalam mendidik mereka. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun