Mohon tunggu...
Wawan Setiadi
Wawan Setiadi Mohon Tunggu... Karyawan sekolah di yogyakarta

Orang yang senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Hanya Jawa yang Punya Nama untuk Dinginnya Kemarau?

10 Juli 2025   10:53 Diperbarui: 10 Juli 2025   10:53 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di lereng Gunung Rinjani, petani Lombok bangun dini hari, menghela napas melihat uap nafasnya membeku di udara Juli. Di Toraja, kabut pagi menyelimuti rumah tongkonan seperti kabut yang sama menyapu perkebunan kopi di Flores. Tapi ketika orang Manggarai menyebutnya sekadar "dingin pagi" dan masyarakat Toraja bercerita tentang "ma'dongan lanngi'" (kabut yang turun), orang Jawa menyapanya dengan nama khusus: "bediding". 

Fenomena meteorologi yang sama---udara kering musim kemarau yang membawa hawa dingin menusuk---hanya menjadi istilah tersendiri dalam kosakata budaya Jawa. Lalu mengapa hanya peradaban Jawa yang memberi nama khusus pada dinginnya musim kemarau ini?

Jawabannya dimulai dari alam sendiri. Topografi Jawa bagai panggung yang dirancang untuk mempertajam sensasi bediding. Lembah-lembah vulkanik seperti Dieng atau Tengger menjadi mangkuk raksasa yang menjebak udara dingin. Di sini, bediding bukan sekadar suhu rendah, tapi pengalaman ekstrem: siang mencapai 32C, pagi hari merosot hingga 12C bahkan minus di dataran tinggi. Kontras 20 derajat ini menciptakan dingin yang "nyawiji" (menyatu dengan tubuh), menusuk hingga ke tulang. 

Di daerah lain, meski suhu bisa serendah 16C seperti di Waingapu (NTT), dinginnya tak sedramatis di Jawa karena kurangnya cekungan alam yang mengintensifkan hawa beku. Alam Jawa menghadirkan dingin yang tak bisa diabaikan, memaksa manusia memberinya nama.

Tapi faktor lingkungan saja tak cukup. Rahasia lain terletak pada cara budaya Jawa memaknai iklim. Dalam kosmologi agraris Jawa, bediding bukan fenomena cuaca biasa melainkan penanda zaman. Kitab Pranotomongso---kalender pertanian kuno---menempatkan bediding sebagai sinyal untuk mulai menanam palawija: saat udara dingin mengusir hama.

 Filosofi Jawa yang menganggap alam sebagai mitra dialog tercermin dalam istilah "mbediding" (bentuk halusnya), yang mengandung makna "dingin yang menyapa". Bandingkan dengan respons budaya di Nusa Tenggara atau Sulawesi Selatan, di mana dingin musim kemarau dianggap rutinitas tahunan tanpa makna khusus. Di sana, tak ada sistem pertanian yang mengikat musim dingin dengan siklus tanam seperti di Jawa.

Kuasa narasi juga memainkan peran krusial. Selama berabad-abad, Jawa menjadi pusat pemerintahan dan literasi---dari era Mataram hingga kolonial Belanda. Istilah "bediding" dengan mudah menyebar karena didokumentasikan dalam naskah seperti Serat Centhini dan catatan peneliti Belanda. Sementara di Flores, istilah "Lero Wutun" (dingin pagi) hanya bertahan dalam tradisi lisan.

 Sentralisasi pengetahuan ini membuat bediding menjelma menjadi istilah nasional, padahal fenomena serupa terjadi di berbagai wilayah. Ironisnya, proses yang sama mempercepat kepunahan istilah lokal di luar Jawa. Menurut Atlas Bahasa Daerah Indonesia (2022), 42% kosakata iklim di NTT/NTB telah punah dalam 50 tahun terakhir.

Pada akhirnya, bediding lebih dari sekadar kata---ia simbol hubungan unik manusia dengan alam. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa bahasa lahir ketika suatu fenomena begitu berarti hingga perlu penamaan khusus. Petani Jawa abad ke-18 memahami ini ketika mereka menyadari bediding adalah sahabat yang membunuh hama wereng. 

Kini, di tengah krisis iklim yang mengacaukan pola musim, kehilangan kata-kata semacam ini bukan hanya persoalan linguistik. Saat istilah lokal punah, ikut lenyap pula pengetahuan turun-temurun tentang membaca alam. Mungkin itulah pelajaran tersembunyi dari bediding: ketika kita kehilangan kata untuk menyebut suatu fenomena, kita mulai kehilangan kemampuan untuk memahaminya. Dan di era di mana perubahan iklim mengancam keberlangsungan pertanian Nusantara, kehilangan semacam itu adalah kemewahan yang tak terjangkau.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun