Dalam lanskap jurnalisme digital yang semakin kompleks, media massa dihadapkan pada tantangan ganda: menyajikan informasi akurat sekaligus memfasilitasi ruang diskusi publik. Namun, apa jadinya jika ruang diskusi itu, yang kerap termanifestasi dalam kolom komentar berita, justru ditiadakan? Fenomena ini menarik perhatian, terutama pada artikel-artikel sensitif seperti yang berkaitan dengan isu Israel di Kompas.com. Ketiadaan kolom komentar pada berita-berita tersebut bukan sekadar detail teknis, melainkan cerminan dilema serius yang patut kita telaah bersama.
Kolom Komentar: Antara Mimbar Demokrasi dan Lorong Kegaduhan
Secara ideal, kolom komentar adalah wujud nyata dari demokrasi digital. Ia memungkinkan pembaca untuk berinteraksi langsung dengan konten, berbagi pandangan, mengoreksi kekeliruan (jika ada), bahkan memperkaya perspektif. Ini adalah saluran vital bagi media untuk memahami resonansi sebuah berita di tengah masyarakat, sekaligus membangun konektivitas dengan audiensnya. Kolom komentar tak ubahnya seperti balai kota digital, tempat warga bisa menyampaikan suaranya langsung di bawah payung informasi.
Namun, realitasnya tak selalu ideal. Isu-isu sensitif, seperti konflik Israel-Palestina yang sarat emosi dan sejarah, kerap memicu gelombang ujaran kebencian, disinformasi, hingga polarisasi ekstrem. Kolom komentar bisa berubah menjadi "lorong kegaduhan" yang dipenuhi komentar bernada SARA atau hoaks yang sulit dibendung. Tim moderator dihadapkan pada beban yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kompleksitas. Tak jarang, media pun harus mempertimbangkan reputasinya agar tidak terasosiasi dengan konten toksik yang merugikan kredibilitasnya.
Dampak Pembungkaman: Dari Hilangnya Suara hingga Migrasi Diskusi
Keputusan meniadakan kolom komentar, meskipun mungkin didasari niat baik untuk menjaga ketertiban, membawa konsekuensi yang tak bisa diabaikan. Pertama, pembaca kehilangan mimbar yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk menyuarakan opini di platform berita utama. Ini secara inheren membatasi kebebasan berekspresi dalam konteks ekosistem digital media. Mereka tak lagi bisa berinteraksi langsung dengan berita yang baru saja mereka baca.
Kedua, media kehilangan salah satu sumber umpan balik langsung yang berharga. Bagaimana sebuah berita diterima, apa kekhawatiran pembaca, atau perspektif lain yang mungkin terlewat, semua menjadi sulit terdeteksi tanpa interaksi di kolom komentar. Ini seperti seorang pembicara yang tak pernah tahu bagaimana audiensnya merespons.
Ketiga, dan ini mungkin yang paling krusial, diskusi tidak serta-merta menghilang. Ia hanya bermigrasi. Pembicaraan tentang isu-isu sensitif ini justru akan beralih ke platform media sosial atau grup daring yang minim moderasi dan rentan terhadap penyebaran informasi yang tidak akurat. Di sana, lautan disinformasi dan ujaran kebencian bisa lebih leluasa berlayar tanpa kendali, justru memperparah polarisasi yang ingin dihindari oleh media itu sendiri. Masyarakat mencari ruang berekspresi, dan jika tidak disediakan secara bertanggung jawab, mereka akan menemukannya di tempat lain yang mungkin kurang terkontrol.
Mencari Keseimbangan: Antara Moderasi Ketat dan Ruang Diskusi Terbuka
Lantas, bagaimana sebaiknya media menyikapi dilema ini? Menutup kolom komentar adalah jalan pintas yang efektif membungkam kegaduhan, namun bukan solusi jangka panjang yang ideal. Kita perlu mencari titik keseimbangan antara menjaga ketertiban dan memfasilitasi diskusi sehat.
Beberapa langkah bisa dipertimbangkan:
Pertama, eningkatan Kapasitas Moderasi: Investasi pada teknologi kecerdasan buatan (AI) yang lebih canggih untuk menyaring komentar, diiringi dengan peningkatan jumlah dan pelatihan tim moderator yang mumpuni. Moderasi yang efektif adalah kunci, bukan penghapusan.
Kedua, penegakan Pedoman yang Konsisten: Media harus secara transparan mengumumkan dan menegakkan pedoman komentar yang sangat jelas dan tegas. Fitur pelaporan pengguna juga perlu dioptimalkan agar pembaca bisa ikut berperan aktif dalam menjaga kualitas diskusi.
Ketiga, alternatif Ruang Diskusi Terkurasi: Mungkin media bisa membuat forum diskusi terpisah atau kanal khusus yang dimoderasi secara ketat untuk topik-topik sensitif. Ini memberikan ruang bagi pembaca serius untuk berdiskusi tanpa tercampur dengan kegaduhan di kolom komentar utama.
Keempat, mengundang Ragam Perspektif: Daripada membungkam, media bisa lebih proaktif mengundang penulis opini dari berbagai spektrum pandangan untuk menyajikan kekayaan perspektif dalam sajian beritanya. Ini akan memperkaya pemahaman publik dan mendorong dialog yang lebih konstruktif.
Pada akhirnya, tantangan bagi media bukan hanya sekadar menyajikan informasi, tetapi juga membentuk masyarakat yang kritis dan mampu berdiskusi secara sehat. Kasus ketiadaan kolom komentar pada berita tentang Israel di Kompas.com menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan: apakah pembungkaman adalah cara terbaik untuk menghadapi kegaduhan, atau justru kita harus berinvestasi lebih dalam pada pendidikan literasi digital dan sistem moderasi yang lebih cerdas untuk menciptakan ruang diskusi yang benar-benar konstruktif?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI