Suatu hari, seorang tamu datang kepada Rasulullah dalam keadaan sangat lapar dan lelah. Rasulullah pun ingin menjamunya, namun di rumah beliau tidak ada makanan. Beliau kemudian berkata kepada para sahabatnya:Â
"Siapa yang mau menjamu tamu ini malam ini? Semoga Allah merahmatinya."
(HR. Bukhari dan Muslim)Â
Seorang sahabat Anshar pun berdiri dan berkata:
"Saya, ya Rasulullah!"Â
Sahabat Anshar itu dalam riwayat Imam Muslim adalah Abu Thalhah, Ia segera membawa tamu ke rumahnya dan bertanya kepada istrinya,
"Apakah ada makanan?"
Istrinya menjawab,
"Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anak kita."
Sahabat itu pun berkata:
"Alihkan perhatian anak-anak dengan bermain, lalu tidurkan mereka. Lalu siapkan makanan yang ada dan nyalakan lampu." Ketika makanan telah disajikan Abu Thalhah segera berpura-pura memperbaiki lampu dan memadamkannya. Ia pun mempersilakan tamunya untuk makan (dalam kondisi gelap), sembari dalam gelap ia juga berperan seolah dia dan istrinya juga makan, agar tamu merasa kita pun ikut makan bersamanya.Â
Sang istri pun menuruti. Mereka duduk bersama tamunya dalam gelap, berpura-pura makan, padahal mereka membiarkan seluruh makanan itu untuk sang tamu.
Keesokan harinya, Rasulullah memberitahu:Â
"Allah tertawa (senang) melihat perbuatan kalian berdua tadi malam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Melalui kisah ini kita belajar bahwa meja makan bisa menjadi saksi tentang amal shalih atau sekadar sarana memuaskan nafsu. Kita menampilkan kerakusan menyantap semua hidangan atau memikirkan dan peduli dengan nasib orang lain. Marilah kita mengambil pelajaran dari kisah inspiratif ini sebagai berikut.
1. Memuliakan tamu adalah akhlak mulia