Mohon tunggu...
Wawan Tunggul Alam
Wawan Tunggul Alam Mohon Tunggu... -

Penulis Buku Klinik Sepakbola: "Menjadi Pemain Hebat Sekalipun Tanpa Bakat"

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Danone Nations Cup: Merusak Pembinaan Usia Dini

21 Maret 2014   17:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Tak diragukan lagi, Danone Nations Cup (DNC), perhelatan sepak bola usia dini 12 tahun (U 12), memiliki magnet yang luar biasa. Betapa tidak. Iming-iming hadiah juara mengikuti turnamen di luar negeri -- tahun 2014 ini ke Brazil -- membuat lebih dari 63.000 anak yang membela 5.766 tim dari seluruh Indonesia (sesuai klaim dari pihak Danone) tertarik menjadi peserta. Bahkan, gelaran DNCdi Jakarta, 22-23 Maret 2014, yang waktunya tidak tepat lantaran masa-masa ulangan semester kelas 6 SD, sampai-sampai mengorbankan waktu ulangan beberapa anak SD dengan meminta ulangan susulan hanya karena ingin mengikuti DNC.

Kepedulian Aqua-Danone menggelar turnamen sepak bola U 12 ini, memang perlu diapresiasi. Pasalnya, PSSI sebagai wadah sepak bola Indonesia sendiri belum mampu menyelenggarakan turnamen resmi U 12 se-Indonesia. Sehingga, kita patut berterima kasih jika ada perusahaan swasta yang mau peduli terhadap pembinaan usia dini.

Hanya saja, ada hal yang ironis, bahkan boleh dibilang justru telah merusak sistem pembinaan sepak bola usia dini dari penyelenggaraan DNC dua tahun belakangan ini. Dan sebagai bahan acuannya adalah penyelenggaraan DNC di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang seharusnya menjadi barometer bagi perhelatan DNC.

Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan DNC 2014 di Jakarta telah merusak sistem pembinaan usia dini. Betapa tidak. Pertama, dilihat dari sistem waktu pertandingan, di mana setiap tim bertanding 1 x 15 menit. Bayangkan, apa ada di dunia ini, bermain sepak bola hanya satu babak? Dan, yang lebih memperihatinkan lagi, sistem ini sudah digunakan sejak tahun lalu, DNC 2013. Apabila panitia beralasan, hal ini terpaksa dilakukan untuk mempercepat waktu turnamen mengingat pesertanya membludak alias banyak, tentu itu bukan suatu alasan yang dapat dibenarkan. Karena panitia seharusnya sudah bisa mengantisipasi membanjirnya peserta, mengingat tiap tahun selalu meningkat jumlahnya. Sehingga konsekwensinya: harus siap menggelar turnamen ini berapa pun banyaknya peserta dengan tidak menghilangkan esensidari pembinaan dan permainan sepak bola.

Kedua, pergantian pemain bisa masuk bolak balik. Di Jakarta, dengan memainkan 9 vs 9, satu tim dibatasi quotanya hanya 12 pemain. Namun, kacaunya lagi, pemain yang sudah diganti nantinya bisa masuk kembali ke lapangan layaknya permainan futsal atau bola basket. Bisa jadi, hal ini dikarenakan quota pemain yang terbatas hanya 12 orang dengan memainkan 1 x 15 menit. Padahal, peraturan umum di seluruh dunia, selain memainkan dua babak, pun pemain yang sudah diganti tidak dapat bermain lagi.

Ketiga, kabarnya, wasit yang memimpin DNC 2014 di Jakarta bukan wasit yang memiliki lisensi (sertifikat) dari Pengcab PSSI tetapi dari wasit tarkam alias wasit yang biasa memimpin antarkampung. Bayangkan, turnamen sekelas Danone dipimpin oleh pengadil yang tidak berkompeten.

Sebetulnya, masih banyak lagi persoalan di perhelatan DNC yang katanya mendunia ini, dengan digarap asal-asalan. Misalnya, ukuran kerasnya bola yang tidak disesuaikan dengan anak-anak , screening pemain yang baru dilakukan setelah masuk 48 besar, tim-tim peserta tidak selektif, dan masih banyak lagi. Memprihatinkan memang. Tampaknya, kini, gelaran DNC hanya mengejar sisi komersial dan promosi semata tanpa peduli aspek-aspek pembinaan sepak bola usia dini. Barangkali, pihak DNC tidak terlalu mempersoalkan hal ini, karena toh sepak bola Indonesia juga tidak maju-maju. Wah, kalau pemikirannya seperti itu, semakin rusaklah sepak bola Indonesia. Quo vadis sepak bola Indonesia?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun