Posisi WALHI dalam kancah politik lingkungan hidup di Indonesia adalah sebagai oposisi permanen yang menentang paradigma pembangunan sentralistik dan ekstraktif. Aktivitas organisasi ini bukan sekadar upaya konservasi, melainkan murni politik lingkungan yang berjuang menegakkan keadilan ekologis, yakni hak setiap warga atas lingkungan hidup yang sehat.
Aktivitas politik WALHI adalah respons terhadap kebijakan negara yang berpotensi pada perusakan ekologi, seperti disorot dalam TLH 2025. Isu-isu lingkungan seperti krisis iklim, deforestasi, dan perampasan lahan, kini tidak lagi terpisah dari isu politik elektoral, karena terbukti program ambisius seperti PSN yang didorong kekuasaan (termasuk IKN dan Food Estate) ikut memicu konflik agraria.
Daya ungkit WALHI dalam politik lingkungan terletak pada kekuatan informasi dan litigasi, yang membuat mereka menjadi penghubung kritis antara korban di akar rumput dan kebijakan negara.
Ketika suara rakyat ditekan kekuatan korporasi dan aparat (misalnya dalam kasus Rempang atau tambang nikel di pulau-pulau kecil), WALHI tampil sebagai pihak yang menguji konstitusionalitas kebijakan (seperti gugatan UUCK di MK) dan membongkar manipulasi data publik.
Mmeskipun WALHI secara politik berhasil mendefinisikan masalah lingkungan sebagai krisis moral dan hukum, hal ini belum mampu menggeser orientasi politik negara yang masih menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai alibi utama. Selama orientasi politik negara tidak berubah dari ekonomi ekstraktif, suara politik WALHI akan terus menjadi alarm keras yang sayangnya seringkali diabaikan kekuasaan.
Laju Kerusakan Ekologi Indonesia di Era Ekonomi Ekstraktif
Krisis lingkungan saat ini bukan lagi sekadar kasus per kasus, melainkan krisis struktural yang dilegitimasi oleh kebijakan. WALHI, melalui berbagai laporannya, secara konsisten menunjuk satu akar masalah, pembangunan yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam secara masif. Beberapa realita yang terjadi saat ini diantaranya:
1. Lonjakan bencana ekologis: BNPB mencatat, total bencana pada tahun 2023 mencapai 5.400 kejadian, meningkat sekitar 40% dibandingkan tahun 2022. Bencana dominan adalah hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, yang erat kaitannya dengan kerusakan ekosistem hulu. (Sumber: BNPB dan Catatan WALHI, Hari Bumi 2024).
2. Ancaman deforestasi: WALHI memprediksi laju deforestasi pada tahun 2025 berpotensi mencapai 600.000 hektar, didorong oleh pembukaan hutan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek seperti perkebunan skala besar dan pertambangan. (WALHI Environmental Outlook 2025).
3. Konflik Agraria Akibat PSN: Berbagai Proyek Strategis Nasional dituding menjadi pemicu konflik. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, konflik agraria meningkat tajam, di mana PSN sering kali menjadi alasan pembenar untuk merampas lahan masyarakat.
Daya Ungkit WALHI Melawan Laju Kerusakan