Banyak orang tua sering mengeluh, "Anakku kok malas banget belajar, disuruh buka buku saja susah." Kalimat seperti ini sangat umum terdengar, terutama di tengah padatnya tuntutan sekolah zaman sekarang. Namun sebelum menilai anak sebagai pemalas, ada baiknya kita mencoba melihat dari sudut pandang psikologi pendidikan. Karena di balik rasa malas, sering kali ada hal yang lebih dalam dari sekadar enggan belajar.
Dalam dunia psikologi pendidikan, belajar bukan hanya urusan otak, tapi juga soal perasaan. Anak akan lebih mudah memahami pelajaran ketika ia merasa tenang, aman, dan diterima. Sebaliknya, jika anak sedang cemas, bosan, atau takut dimarahi, otaknya tidak akan bekerja optimal. Dalam kondisi seperti ini, bagian otak yang mengatur emosi justru lebih aktif daripada bagian yang berfungsi untuk berpikir dan fokus. Akibatnya, anak terlihat seperti tidak bersemangat belajar, padahal sebenarnya ia sedang berjuang dengan emosinya sendiri.
Rasa malas juga bisa muncul karena motivasi belajar yang menurun. Ada dua jenis motivasi yang memengaruhi anak: motivasi dari dalam diri (intrinsik) dan motivasi dari luar (ekstrinsik). Ketika anak belajar hanya untuk mendapatkan nilai bagus atau hadiah, motivasinya bergantung pada faktor luar. Begitu tidak ada penghargaan atau pujian, semangatnya ikut hilang. Sebaliknya, jika anak belajar karena rasa ingin tahu dan minat pribadi, proses belajar akan terasa menyenangkan. Itulah mengapa tugas orang tua dan guru bukan hanya menyuruh belajar, tetapi juga menumbuhkan keinginan anak untuk belajar dengan hati yang senang.
Lingkungan juga berperan besar dalam munculnya rasa malas belajar. Suasana rumah yang bising, orang tua yang sering bertengkar, atau tugas sekolah yang terlalu berat bisa membuat anak kehilangan fokus. Anak butuh lingkungan yang mendukung, tempat ia merasa diterima dan dihargai. Menurut pandangan psikolog humanistik seperti Carl Rogers, belajar akan lebih efektif jika anak merasa aman secara emosional. Jadi, anak yang sering dimarahi atau dibanding-bandingkan dengan teman sekelasnya biasanya justru makin menutup diri dari kegiatan belajar.
Selain itu, tantangan lain datang dari dunia digital. Anak-anak zaman sekarang tumbuh bersama gawai dan media sosial yang menawarkan kesenangan instan. Otak mereka terbiasa dengan hal-hal cepat dan menarik secara visual, sementara kegiatan belajar di sekolah sering kali terasa lambat dan membosankan. Akibatnya, fokus anak mudah teralihkan. Bukan berarti teknologi harus dijauhi, tetapi perlu diatur penggunaannya agar anak tetap bisa menikmati belajar tanpa kehilangan dunia bermainnya.
Daripada terus memarahi anak karena malas belajar, lebih baik kita mencoba memahami apa yang membuatnya merasa begitu. Dengarkan keluhannya, beri kesempatan untuk beristirahat, dan berikan apresiasi kecil atas usahanya. Anak yang merasa dihargai akan lebih bersemangat memperbaiki diri. Guru dan orang tua perlu bekerja sama menjadi teladan yang sabar, bukan hanya memberi perintah, tapi juga menunjukkan bahwa belajar adalah bagian dari kehidupan yang menyenangkan.
Pada akhirnya, anak yang tampak malas belajar tidak selalu berarti tidak mau berusaha. Bisa jadi ia sedang lelah, bosan, atau kehilangan makna dari apa yang ia pelajari. Tugas kita sebagai pendidik, orang tua, atau siapa pun yang peduli terhadap dunia anak adalah membantu mereka menemukan kembali semangat itu. Karena belajar sejatinya bukan sekadar tentang nilai dan ujian, melainkan tentang menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian, dan kebahagiaan dalam proses memahami dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI