Mohon tunggu...
Eva Khofiyana
Eva Khofiyana Mohon Tunggu... -

Eva Khofiyana, biasa dipanggil eva. alumnus FKIP Bahasa Indonesia UNS Surakarta\r\nAktif mengikuti kompetisi menulis terutama cerpen, artikel, esai. Suka dengan dunia anak-anak, masih aktif mengajar matematika dan english for children

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Syahdu Nasihatmu, Sebening Suaramu

3 Februari 2015   16:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:54 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari setelah aku pulang dari Solo, Ayah sudah bersenandung riang dengan lagu kesukaannya “Lolong-Ebiet G Ade”. Begitu indah dan tak bosan aku mendengarnya terlebih dengan petikan gitarnya meskipun lagu itu sudah sering kudengar lewat winamp laptopku yang penuh dengan lagu-lagu Ebiet G Ade dan beberapa musikalisasi puisi lainnya.

Aku pun yang letih sehabis duduk manis cukup lama di kereta api dari kota Solo menuju Kutoarjo tersapukan wajah kusutku dengan syahdu suara Ayah. Aku senang membarengi Ayah bernyanyi bersama. Tak ayal aku tidak sia-siakan moment pulang kampung dengan orkes kecil bersama Ayah di ruang keluarga.

“Ihir, sore-sore gini sudah main gitar. Padahal gitarnya dah buluk gitu. hehe.” berjalan sedikit gontai menghampiri sofa yang diduduki ayah juga.

“Biar to nduk. Duduk sini nduk, capek to baru menempuh perjalanan yang cukup jauh.”

“Oke, dari dulu lagunya sama mulu. Kalo ga Ebiet G Ade ya Rhoma Irama. hihi.”

“Lha terus penginnya apa. Lagu rock, jazz. Ayah bisa.”

“Beneran ni. Aku pengin Ayah nyanyiin lagu korea.”

“Huss, korea mulu. Lebih bermakna lagu Ebiet dong.”

“Ya udah deh, sekali-kali manut sama Ayah mumpung lagi di rumah. Aku Ingin Pulang ya yah.”

“Oke deh neng manis. Padahal dah pulang, lagunya kok Aku Ingin Pulang.” Ayah geleng-geleng kepala mendengar lagu itu.

“Lha lagu Ebiet G Ade yang kuhapal cuma itu doang. Hmmm, Masih Ada Waktu aja, kalau Ayah keberatan.”

“Sip, ikut nyanyi ya nduk.”

“Siap.”

Suara khas Ayah kalau bernyanyi membuatku terkadang senyum-senyum sendiri, apalagi saat mendengar lagu Ebiet G Ade khususnya Titip Rindu Buat Ayah. Aku bukannya senyum lagi tapi ikut terenyuh melihat Ayah matanya berkaca-kaca. Sempat bertanya kenapa Ayah bisa begitu sedih ketika mendendangkan lagu itu. Tidak lain karena Ayah begitu rindu dengan almarhum kakek. Subhanallah. Seperti apa sosok kakek aku pun tidak tahu, tapi setelah mendengar Ayah bercerita tentang kakek. Aku langsung mengatakan Ayah seperti kakek. Tegas, lembut, dan nyentrik. Sampai-sampai teman-temanku bilang Ayah Eva gaul. Tentu saja, sejak dulu Ayah eksis di dunia permusikan alias eksis sebagai pujangga amatir di desanya, di mana-mana sering manggung. Sampai pernah nenek bilang kalau Ayah salah satu cucu yang paling disayang oleh kakek buyut buktinya Ayah diberi hadiah khusus berupa gitar terlebih dengan prestasi mengejutkan darinya. Salut deh untuk Ayah. Aku buktikan, aku pun bisa seperti Ayah. Aku belajar semuanya dari cerita dan nasihat Ayah. Benar, sejak kecil aku selalu dilekatkannya dengan segala macam pendidikan yang tidak membosankan dan begitu berkesan. Catatan penting dari sifat Ayah, meski Ayah blak-blakkan, tapi untuk masalah menasihati anak perempuannya ini ia sangat tersirat hingga sempat membuatku lama mengolah nasihat tersirat darinya. Dunia seni, baca Al Quran, sholat, kedisplinan, keunikan, kecuekan, rasa percaya diri, dan yang terpenting ilmu din menjadikan aku muslimah yang nyentrik seperti dirinya aku dapatkan semua langsung dari petuahnya. Aku ingat dengan tulisan yang berada di buku diarynya yang tak sengaja kutemukan di lemari buku koleksinya. Melekat lama di memoriku dan menjadi kata pemantik untuk sukses lewat seni, ilmu, dan agama. Lengkap menghiasi hidupku. Kendati tulisan itu ia kutip dari Buya HAMKA.

Dengan Seni Hidup Menjadi Indah

Dengan Ilmu Hidup Menjadi Mudah

Dengan Agama Hidup Menjadi Terarah

Kembali di rumah yang kutunggu memang tidak hanya masakan ibu, tapi juga suara Ayah dan petikan gitarnya yang selalu kukagumi. Selain itu, aku ingin sekali mengatakan pada Ayah, aku tak ingin lepas darinya, aku ingin Ayah mendapat umur panjang. Selalu aku meminta ini pada Rabb, Allah. Aku merasa kalau jauh dari Ayah, hatiku terasa kering dengan nasihat ringan nan berbobot darinya. Tak bisa kubayangkan, apa jadinya tanpa ada nasihat darinya. Walaupun aku sekarang jauh darinya, Hpku tak pernah alpa dari smsnya “Sukses, Selamat, dan Bahagia”

Bercerita dan bercurhat dengannya juga menyenangkan seperti dengan temannku sendiri. Sosoknya yang tegas dan mungkin orang berpikiran galak terlihat dari wajahnya yang lebat dengan rambut janggut. Tapi, aku sangat nyaman dengan tampilannya. Suatu ketika Ayah bercerita kalau aku sempat ketakutan tidak mau digendong dan menangis histerissewaktu kecil gara-gara tampilan Ayah berbeda, rambut di jenggotnya dipangkas semua. Aku tertawa kecil. Ayah memang sejak dulu selalu membuat kejutan dari tampilan, nasihat, dan cerita pengalaman mudanya. Aku belajar lewat cerita-cerita unik Ayah yang nyentrik.

Pernah suatu waktu aku mengeluh dan keluhanku itu terdengar oleh Ayah.

“Ah Ayah kok belinya makanan ini. Aku nggak suka.”

“Tahu gitu Ayah nggak beliin jajan. Besok-besok Ayah nggak beli oleh-oleh, ya. Dibeliin malah dikeluhin.”

Deg, hatiku tersindir dengan perkataan Ayah. Benar juga, aku ini sukanya mengeluh. Mulai terlihat sosoknya yang tersirat dalam memberi nasihat. Kata temanku Ayahku beda dari yang lain, Ayah itu mudah menempatkan diri seolah-olah sahabat yang menyenangkan. Perkataan beliau yang saat ini mengubah cara berpikirku dan sikapku. Dulu aku suka mengeluh, berlaku seperti laki-laki alias tomboy, suka berkata apa-apa susah, mudah putus asa, kurang percaya diri, dan sedikit malas. Berkat dia, semua berubah. Tidak ada paksaan darinya. Tapi sepenuhnya aku ingin berubah yang pada akhirnya menjadi suatu kebahagiaan hati dan keikhlasan bukan sebuah keterpaksaan yang membuahkan ketidakikhlasan dalam berubah.

Nasihatnya tersirat nan mengena itu yang kusukai dari sosok Ayah. “Aduh ini susah banget si. Aku nggak bisa. Ayah tolong kerjain soal matematika ini.” keluhan yang berulang kali kulontarkan di depan Ayah, seingatku perkataan itu kukeluarkan di kala masih duduk di bangku SD. Aku suka sekali berkata susah, dikit-dikit bilang susah. Mungkin Ayah jengah mendengar keluhan yang hampir ratusan. Langsung Ayah berkata “tidak ada yang sulit.” Waduh, tidak ada yang sulit, mana mungkin. Aku cuek saja ketika Ayah berkata seperti itu, aku tetap saja manja minta dikerjakan soal matematika dan mata pelajaran lainnya, sedangkan aku tidur. Memalukan, memerintah orang tua. Bagaimana lagi keadaan memang sulit. “Eva tidak ada yang sulit.” Selalu dan selalu Ayah mengatakan itu. Aku baru sadar ketika Ayah membuat jadwal belajar untuk menghadapi ujian masuk SMP Negeri. Benar-benar tidak ada yang sulit, aku berusaha mandiri. Satu minggu belajar sesuai dengan jadwal yang sudah dibuatkan khusus oleh tanpa mengekang dan mengganggu aktivitas menyenangkan seperti bernyanyi dengan Ayah dan bercurhat ria. Ya, ujian harus mandiri. Tentunya dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan ilmu suatu ujian sekolah maupun hidup InsyaAllah menjadi mudah. Ilmu yang penting, sepertinya Ayah menanamkan prinsip ini sehingga memotivasi aku untuk tidak mudah putus asa meski dalam keadaan sulit. Aku harus tetap berusaha sesuai dengan kemampuanku. Buktinya, aku selalu menganggap semua akan mudah asal aku berniat dan mau berusaha dengan sekuat tenaga. Nasihat tersirat yang membuatku berpikir keras untuk menafsirkannya salah satunya belajar untuk percaya diri, tidak mudah putus asa, berani mencoba hal-hal yang baru dan sulit. Begitu menyenangkan. Mencoba untuk berani tampil di depan, bernyanyi, bermain gitar, dan menulis yang tentunya bermanfaat.

Ayah memang tidak terlalu ambisius agar aku menjadi nomor satu di sekolah dan di luar sekolah. Ia mendorong, memotivasi dan ia memasrahkan semuanya kepadaku, sesuai dengan kemampuanku. Melihat aku mampu menepis rasa takut dan mau mencoba hal yang baru dan sulit, Ayah sudah begitu bahagia.

Jilbab yang melekat di tubuhku dan sampai sekarang masih setia, itu pun berkat nasihat tersirat dari Ayah. Berawal dari tangannya memegang majalah dan menyodorkankannya padaku.

“Asyik dapat majalah baru Ayah.”

“Dibaca yang nduk. Bagus loh kayaknya, dari sampulnya aja bagus.”

“Oke, makasih ya Ayah. Tak baca deh.”

Kutatap majalahnya lekat-lakat, baru kubuka halaman per halaman, dari judulnya hatiku tergerak mendalami petikan ayat Al Quran. Menyentuh dan menyindir keadaanku. Melihat tubuhku lewat cermin. Aku wanita, agamaku Islam, aku harus mengikuti dan tunduk pada ajaran Allah. Ya, aku harus mengubah diriku dengan jilbab. Berpakain tertutup dan syar’i. Logis dan menjaga diri wanita.

Subhanallah, lagi-lagi Ayah memberi kejutan lagi. Nasihat ini begitu menggelora. Dengan agama hidup menjadi terarah. Ini pelajaran darinya yang kesekian kalinya, pelajaran kedua dari petuah Buya HAMKA bercermin dari nasihat Rasulullah juga, memperbaiki akhlak. Gayaku yang seperti laki-laki berubah total dalam waktu sekejap berkat majalah perdana yang diberikan Ayah kepadaku. Alhamdulillah, Ayah aku kali ini tidak akan menolak lagi. Aku minta maaf dulu pernah menolakmu untuk memakai jilbab. Padahal niat Ayah begitu mulia. Aku ingin berteriak, aku sudah memakai jilbab dan berkomitmen untuk tidak melepasnya dan aku berusaha untuk tetap berpegang teguh terhadap dienul Islam dengan tidak meninggalkan ilmu din. Terus-menerus Ayah memperhatikan jilbabku. Apabila jilbabku kekecilan, ia menggantinya dengan yang besar biar aku tetap terjaga dari mata liar laki-laki. iseng. Benar-benar dengan agama hidup menjadi terarah. Hidupku tidak hanya dihiasi dengan hedonisme, tapi orientasi terarah yakni ibadah kepada Allah untuk mendapat ridho Allah dan pahala dari-Nya.

Terakhir tulisan ini kudendangkan lagu diiringi petikan gitarku “Ayah Aku Mohon Maaf”. Sebelumnya aku suka sekali menyodorkan Ayah gitar lalu memintanya untuk menyanyikan sebuah lagu favoritku Ebiet G ADE dan mengajariku bermain gitar. Terenyuh mendengar Ayah syahdu dan merdu menyanyikan lagu Titip Rindu Buat Ayah. yang hampir membuat Ayah menitikkan air mata, aku bisa melihat matanya yang merah saat menyanyikan lagu itu. Kali ini, beralih aku yang menyanyikannya sendiri untuk Ayah, aku sudah memainkannya sendiri, tanpa mengubah gaya hidupku. Aku hadiahkan khusus untuknya, sebagai salah satu tanda terima kasih untuknya. Dengan seni hidup menjadi indah. Aku merasakannya, Islam cinta keindahan, dengan seni yang berbalut keislaman tidak akan keblabasan. Hidupku terhiasi dengan nasihat lewat puisi yang dimusikalisasikan. Menyentuh.

Lengkap sudah nasihat tersirat dari Ayah dari ilmu dunia, agama, dan seni. Ayah aku tidak sungkan untuk mennyandarkan pujian. Ayah hebat penuh nasihat tersirat yang syahdu, suaranya pun bening seperti nasihatnya yang lembut penuh makna. Komplit dan salut deh buat Ayah. Lihat aku Ayah, aku sekarang sudah seperti apa yang engkau ajarkan tanpa ada rasa keterpaksaan. Terima kasih Ayah. I love you because Allah.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun