Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Curhat dari Tepian Sungai Buyat

13 April 2016   12:53 Diperbarui: 13 April 2016   13:01 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Maria, warga kampung Bubuan sedang mencuci pakaian di Sungai Buyat pada Sabtu (2/4/2016) lalu. (dok. pri)"][/caption]Matahari belum lama terbit di tepian Sungai Buyat pada 2 April lalu. Cukup lama saya berdiri di sana sambil membiarkan tubuh menghangat. Sebetulnya, bukan sungai yang ada di depan saya. Melainkan muara sungai yang menuju Teluk Buyat. Sempat berpikir apakah ini membentuk estuari atau laguna?. Tapi sepertinya tidak dan hanya berupa aliran air tawar yang tenang dengan endapan aluvial di dasar.

Keberadaan Sungai Buyat sangat menarik karena memisahkan kampung Ratatotok Timur dan Bubuan. Uniknya lagi, kedua kampung bertetangga tersebut berada di dua kabupaten yang berbeda. Ratatotok Timur merupakan bagian dari Kabupaten Minahasa Tenggara. Sedangkan Bubuan termasuk bagian dari Kabupaten Bolangan Mongondow. Dengan demikian Sungai Buyat menjadi batas dua kabupaten yang terpisah hanya dengan jarak sekitar 3 meter sesuai lebar sungai.

[caption caption="Tebing perbukitan yang memagari kampung Bubuan di tepi Sungai Buyat (dok. pri)"]

[/caption]

[caption caption="Jalan di kampung Ratatotok Timur yang menuju Sungai Buyat (dok. pri)."]

[/caption]Dibanding Ratatotok, kampung Bubuan relatif lebih kecil. Sebuah tebing tinggi memagari kampung tersebut di salah satu sisinya. Rumah-rumah di Bubblan yang berada di tepian sungai juga berukuran lebih kecil dibanding tetangga mereka di Ratatotok.

Selain itu, Sungai Bunyat menjadi saksi bisu peristiwa yang menggemparkan 12 tahun silam. Ketika itu isu pencemaran berat berhembus kencang di Teluk Buyat hingga menjadi perhatian nasional. Setelah isu pencemaran tak terbukti, Sungai Buyat terus menjadi saksi detik demi detik kehidupan masyarakat di sekitar Teluk Buyat.

Seperti yang saya jumpai pagi itu ketika Maria, warga kampung Bubuan sedang mencuci pakaian di pinggir Sungai Buyat. Ia duduk bertumpu pada bebatuan yang tersusun miring di sepanjang bibir sungai. “Kalau kemarau air memang susah di sini”, jawabnya menerangkan alasan mencuci di sungai.

Di kampung Bubuan air bersih dialirkan melalui pipa. Namun menurut beliau saat musim kemarau jumlahnya tidak mencukupi. Warga pun akhirnya harus menghemat untuk keperluan makan dan minum.

[caption caption="Warga kampung Bubuan mengambil air Sungai Buyat dengan ember dan derigen untuk keperluan mencuci (dok. pri)."]

[/caption]Maria sebenarnya bisa mendapatkan air bersih untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun ia perlu menyisihkan uang lagi untuk membeli air bersih yang dijual Rp.3000 per galon. Jika mengambil langsung ke sumber mata air, ia juga harus mengeluarkan ongkos untuk menyewa bentor.

Oleh karena itu, ia dan warga lainnya memilih memanfaatkan air Sungai Buyat untuk keperluan mencuci. Hal yang sama juga dilakukan oleh Marni, tetangga Maria. Akan tetapi, Marni tidak mencuci di sungai. Ia mengambil air sungai menggunakan ember dan dirijen bekas untuk dibawa ke rumah.

Bukan hanya keluhan tentang akses air bersih di kampung Bubuan. Warga di Ratatotok Timur juga mengeluhkan kehadiran tambang pasir pantai ilegal yang mulai merusak kawasan pesisir di Teluk Buyat. Hal ini disampaikan oleh Inayat Gobel saat ditemui di dermaga pada Sabtu sore. “Lihat itu, di sana sudah rusak kan?”, tegas pria yang berprofesi sebagai kapten kapal tersebut sambil menunjuk arah tepi pantai tak jauh dari dermaga. Di sana terlihat sebuah gubug tempat istirahat para penambang pasir ilegal.

Ial dan beberapa warga sudah beberapa kali melaporkan aktivitas pertambangan pasir tersebut sampai ke kecamatan. Namun, menurutnya belum ada respon dan tindakan nyata untuk menertibkan kegiatan eksploitasi tersebut. “Mungkin karena orang-orang itu (para penambang pasir) juga mencari makan, jadi dibiarkan”, terangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun