Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kekerasan Aparat dan Suara-suara yang Tak Pernah Mati Meski Nyawa Dihilangkan

4 September 2025   07:27 Diperbarui: 4 September 2025   07:27 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun Jagal (dok. pribadi).

Dari kegelapan kubur, kedalaman sungai, hingga dasar jurang. Mereka yang nyawanya dihilangkan "hidup lagi" untuk menerangi sejarah agar tak dilupakan.

Jurang antara penguasa dan rakyat seringkali mewujud dalam bentuk kekerasan oleh aparat yang terus berulang. Seketika nyawa menjadi barang yang sangat murah harganya. Kemanusiaan membusuk hingga nyaris tak menyisakan jejaknya.

"Kebun Jagal" karya Putra Hidayatullah menumpahkan kenyataan murung tersebut. Melalui dua puluh satu cerita tentang kematian, sebagian di antaranya berlatar konflik di Aceh semasa operasi militer, Kebun Jagal menghidupkan lagi suara-suara yang terkubur bersama tubuh yang telah tiada atau hilang entah ke mana.

Cerita-cerita pendek ini yang beberapa bahkan sangat pendek, berupaya merentangkan panjangnya rantai kekerasan oleh aparat. Hilangnya nyawa seringkali tak memutus rantai kekerasan tersebut. Bahkan, berlanjut dalam bentuk luka dan trauma bagi mereka yang masih hidup, tapi tak mendapat keadilan.

Seperti dialami Leman dan Limah dalam cerita "Angin Ingatan". Pasangan suami istri ini sepanjang sisa hidupnya memeluk duka serta trauma karena kaki tangan penguasa merenggut nyawa anak mereka. Limah masih sering dihantui ingatan saat memandang seseorang yang mirip dengan mendiang sang anak. Setiap melihat TV rasa duka itu berubah menjadi teriakan yang menggedor batinnya karena sosok penguasa yang merampas hidup anaknya masih tampil penuh kehormatan. 

Namun, teriakan menuntut keadilan itu tak pernah terucap dengan suara yang keras terdengar. Leman dan Limah hanya menyimpannya lirih di dalam rumah. Leman bahkan memotong kabel antena TV dengan harapan bisa mengurangi duka yang terus menjangkiti batin dan pikiran sang istri. 

Leman dan Limah pada akhirnya harus terdiam. Apalagi saat ulama setempat yang mereka hormati ternyata berkampanye dan mengajak warga untuk memilih orang yang telah merenggut nyawa sang anak.

Kebun Jagal (dok. pribadi).
Kebun Jagal (dok. pribadi).

Riwayat Leman dan Limah menguak hal penting dalam rantai kekerasan yang berlanjut kepada keluarga korban. Relasi feodal dan kepatuhan buta pada tokoh agama membuat mereka yang tertindas semakin takluk tak berdaya. Dalam konteks Leman, ketidakmampuan melepaskan diri dari pengaruh kepatuhan buta membuatnya menganggap kematian sang anak tidak ada kaitan langsung dengan kesewenang-wenangan penguasa. 

Penjinakkan karena ikatan feodal dan agama membuat trauma tak pernah benar-benar sembuh dan harapan keadilan semakin runtuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun