Kadang saya membayangkan bagaimana perasaan seorang masinis, prami atau prama yang bertugas saat musim mudik lebaran. Kereta tempat mereka bertugas melintasi kota kampung halaman tanpa mereka bisa turun. Barangkali hanya lambaian tangan diam-diam atau salam rindu dalam hati yang bisa mereka sampaikan lewat jendela kaca.
Waktu bergerak cepat pagi itu. Kereta Taksaka sudah terparkir di jalurnya. Penumpang pun diarahkan untuk segera memasuki kereta. Kembali suatu alunan kehidupan tersaji. Langkah-langkah kaki berderap serempak. Suara roda koper yang ditarik beradu irama dengan suara sepatu dan sendal yang menghentak lantai stasiun.
Beberapa penumpang nampak tergesa-gesa. Banyaknya barang bawaan membuat mereka merasa perlu secepat mungkin memasuki kereta dan mencapai tempat duduknya. Kadang saya heran mengapa beberapa orang mudik dengan membawa begitu banyak tas, koper, kardus, bawaan lainnya.Â
Namun, akhirnya saya memahami dan menerima kenyataan itu. Di dalam koper itu pasti tersimpan janji untuk keluarga di kampung halaman. Ada oleh-oleh untuk ibu dan bapak. Di dalam tas yang nampak berat dan susah payah diangkat itu ada hadiah yang telah dijanjikan oleh ayah untuk anaknya yang meminta baju baru. Di dalam kardus yang diikat tali itu barangkali sudah disiapkan aneka jajanan dari kakek dan nenek yang hendak menjenguk anak dan cucunya.
Di dalam kereta 5 saya sudah duduk nyaman sesuai nomor kursi pada tiket. Satu koper telah saya letakkan di tempatnya pada bagian atas kursi. Tas punggung saya letakkan di area kaki. Ukurannya yang tidak terlalu besar memungkinkan saya meletakkannya tanpa menganggu sandaran kaki. Sebuah buku saya keluarkan terlebih dahulu dari dalam tas. Saya niatkan akan membaca jika suasana dan mood memungkinkan.
Rupanya saya tak duduk sendirian pagi itu. Seorang bapak berhenti di samping. Sejenak ia mengangkat sebuah kardus seperti akan meletakkannya di atas. Saya bangkit menawarkan bantuan. Namun, ia telah lebih dulu berhasil melakukannya seorang diri. Menyusul kemudian sebuah tas jinjing berukuran agak besar juga ia letakkan di atas.
Pak Saefuloh menjadi teman perjalanan mudik saya. Sebenarnya saya tak tahu pasti bagaimana mengeja namanya. Apakah Saefuloh, Saifulah, Saefullah, pakai "p", atau "f". Hanya ucapannya yang terdengar oleh saya sebagai Saefuloh maka saya anggap begitulah namanya yang benar.
Tidak sepanjang perjalanan kami berinteraksi. Percakapan di antara kami terjeda beberapa kali. Sesekali saya beralih membaca sebelum kembali terlibat obrolan dengannya.
Pak Saefuloh hendak menuju Cirebon. Namun, itu bukan perjalanan mudik karena kampung halamannya di Bantul dan terus menetap di sana. Lebaran kali ini ia ke Cirebon untuk menjenguk putrinya yang baru melahirkan anak kedua pada awal Ramadan. Oleh karena baru mempunyai seorang bayi, putrinya yang biasa mudik ke Bantul bersama keluarga kecilnya tidak bisa pulang saat lebaran.
Maka Pak Saefuloh memutuskan menjenguk keluarga putrinya sekaligus menemui cucunya yang belum pernah dilihatnya secara langsung kecuali lewat foto dan video call. Kebahagiaan Pak Saefuloh yang akan berlebaran bersama keluarga putrinya nampak dari kata-kata serta rona wajahnya. Ia bahkan sempat menunjukkan kepada saya sebuah foto di galeri HP miliknya. Foto itu memuat dirinya bersama keluarga putrinya.