Meski para "orang suci" tidak terlibat langsung dalam pertempuran, mereka aktif di belakang layar dengan merestui pihak-pihak yang dianggap mampu melengserkan penguasa. Harapannya setelah penguasa Tumapel berhasil dilengserkan, pengaruh Wisnu bisa dikikis dan Syiwa kembali tegak sebagai ajaran tertinggi di Tumapel.
Di akhir cerita Tumapel berhasil diambil oleh kelompok Arok berkat strategi yang cerdik sekaligus licik. Selain mampu menggulingkan Tunggul Ametung, Arok sekaligus melumpuhkan para pesaingnya sesama pemberontak.
Saat berbicara pertama kali sebagai penguasa baru, Arok melontarkan pernyataan bahwa di bawah kekuasaannya semua keyakinan agama harus dan akan diperlakukan setara. Tidak boleh ada penindasan dan perbudakan satu sama lain. Namun, benih kecemburuan dan rasa iri ternyata tetap hidup dalam lubuk hati terdalam orang-orang. Dalam suatu kesempatan ibadah bersama, permaisuri Arok yang memuja Syiwa diam-diam masih tidak rela berbagi ruang dan tempat dengan pemuja Wisnu.
***
Melalui uraian di atas ada dua hal penting yang bisa ditarik dari peristiwa kudeta kekuasaan di Tumapel. Pertama, bahwa sejak dulu agama telah dilibatkan dalam praktik politik dan kekuasaan. Baik untuk menjaga stabilitas kekuasaan maupun merebut kekuasaan, para pemuka agama telah menggunakan pengaruhnya secara efektif.
Kedua, adanya perasaan tersisih, iri, dan cemburu yang menghinggapi para pemuka agama serta penganutnya di Tumapel menunjukkan sifat dasar manusia yang ingin menguasai dan mempengaruhi sesamanya. Kehendak itu menimbulkan ketidakrelaan untuk berbagi ruang dan tempat. Bahkan berkembang menjadi rasa benci terhadap kelompok keyakinan lain.
Apa yang terjadi Tumapel memperlihatkan bahwa intoleransi telah ada sejak dulu. Dalam hal ini kita pantas bertanya: benarkah pada masa dahulu agama-agama berkembang di Nusantara secara damai?
Seperti yang dikisahkan dalam Arok Dedes, sikap kurang bisa menerima keberagaman memicu kebencian antar penganut aliran dalam satu keyakinan yang sama. Sementara perasaan tersaingi atas berkembangnya agama baru menimbulkan rasa tidak rela akan kehilangan pengaruh dan pengikut.
Keterlibatan para orang suci di balik kudeta dan pemberontakan mengindikasikan ada suatu masa ketika perkembangan agama bergantung atau mengandalkan "kebijaksanaan" penguasa. Jika seorang penguasa menganut aliran atau keyakinan yang sama dengan para pemukanya, maka aliran tersebut akan bisa tegak dengan dominasi yang penuh. Pada saat bersamaan eksistensi dan pengaruh keyakinan lain bisa diredam.
Seolah pada saat itu bagi para pemuka agama di Tumapel satu-satunya cara untuk menegakkan pengaruh agama ialah dengan melibatkan diri dalam kekuasaan. Tak peduli apakah pemuka agama yang menunggangi kudeta atau kelompok pemberontak yang memanfaatkan pengaruh pemuka agama. Akibatnya eksistensi agama menjadi berisinggungan dengan pergantian kekuasaan yang brutal. Maka dari itu  ada kecenderungan pada satu masa perkembangan agama dan aliran keyakinan di Nusantara berlangsung secara kurang damai.