Juga janji Gubernur Jenderal tentang masa depan Hindia yang akan cerah dengan politik etik. Itu serupa dengan Indonesia Emas yang dikampanyekan beberapa tahun terakhir. Kenyataannya tak ada jalan menjanjikan yang dibangun untuk menuju keemasan dan kecerahan itu. Sebaliknya, suatu lintasan tanpa penerang diadakan untuk membawa Indonesia terperosok mundur ke belakang.
Upaya Gubernur Jenderal Hindia untuk menguasai dan mengendalikan organisasi dengan menyusupkan orang-orangnya serupa dengan "cawe-cawe" pada masa kini. Presiden yang mengendorse menterinya untuk menjadi pemimpin partai. Presiden  yang memberi dukungan kepada orang kepercayaannya agar terpilih dalam pilkada. Semua itu merupakan reduplikasi dari perilaku penguasa kolonial.
Begitu pula watak para priyayi yang tak rela anak keturunannya bersaing dengan rakyat jelata dalam mendapatkan jabatan. Itu serupa dengan nepotisme yang semakin lumrah terjadi Indonesia sekarang. Nepotisme yang disuburkan dalam bentuk pewarisan dan penerusan jabatan dari ayah ke anak atau menantu. Dari paman ke keponakan dan seterusnya.
Teror, kekerasan, dan surat kaleng yang diterima oleh Minke dan korannya juga seperti pengiriman kepala babi yang baru saja dialami oleh jurnalis sebuah media besar tanah air.Â
Begitu pula pemanggilan Minke oleh Gubernur Jenderal yang mengharap agar Minke "lebih bijak dan mengendalikan pengaruhnya". Bukankah itu sebangun dengan pertemuan para pemimpin redaksi media dengan presiden beberapa waktu lalu?
Bedanya, Minke tetap teguh dengan pendirian dan korannya. Sementara para pemimpin redaksi itu entah apa yang terjadi setelah diundang oleh presiden. Kebetulan atau tidak, gerakan mahasiswa dan protes rakyat menjadi lebih senyap beritanya di media. Bahkan, ada sebuah media yang nampak secara sistematis menggembosi suara mahasiswa dengan membikin framing buruk.
Untungnya, rakyat tak buntu. Beberapa diaspora berinisiatif membuat rilis pers dalam berbagai bahasa untuk disebarkan ke berbagai media asing di luar negeri. Harapannya dunia menjadi tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia. Upaya tersebut merupakan adaptasi dan aktualisasi dari pandangan dalam Jejak Langkah bahwa tidak ada kejahatan yang takkan malu dan tersipu pada penglihatan dunia.
Lalu apakah semua upaya dan suara dari mahasiswa dan rakyat dalam mengoreksi penyimpangan-penyimpangan oleh penguasa dan pejabat  saat ini akhirnya juga akan menyerah seperti halnya Minke dipaksa mengakhiri langkah-langkahnya?
Jangan sampai itu terjadi. Paling tidak Pramoedya Ananta Toer dan Minke telah mewariskan pengetahuan sekaligus menunjukkan dengan contoh sebaik-sebaiknya bahwa untuk membebaskan bangsa dari penindasan diperlukan tiga keberanian. Yakni, keberanian berpikir, keberanian bertindak, dan keberanian menanggung risiko atas tindakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI