Gubernur Jenderal penguasa Hindia pun memanggil Minke untuk menekankan agar Minke perlu lebih bijak dan mengendalikan pengaruhnya. Pada saat yang sama, langkah-langkah Minke dihambat dengan beragam cara seperti percetakan yang menolak untuk mencetak koran hingga dipersulit saat membeli kertas.
Selain mengendalikan koran dan majalah, penguasa Hindia Belanda juga menyusupkan orang-orangnya ke dalam organisasi-organisasi. Pada suatu pemilihan, penguasa berupaya agar para anggota memilih orang-orang tersebut sebagai pemimpin organisasi.
Boikot
Nyala organisasi terus dijaga oleh Minke. Pasang surut, penyimpangan, dan perpecahan yang berulang kali terjadi dalam tubuh organisasi dianggapnya sebagai ujian yang menempa kekukuhan. Kobar perlawanan melalui koran pun tak berhenti. Walau koran dan kantor Minke sempat disegel, dengan segenap daya ia berusaha tetap menerbitkan korannya.
Di antara dua langkah untuk membebaskan bangsanya tersebut, Minke diam-diam menyiapkan senjata lainnya, yakni boikot. Pemahamannya tentang boikot diilhami oleh keberhasilan organisasi pedagang Tionghoa ketika memboikot perusahaan-perusahaan Eropa yang berafiliasi dengan penguasa. Para pedagang Tionghoa bersatu untuk tidak membeli bahan baku dari perusahaan-perusahaan Eropa. Dalam waktu yang tak lama, perusahaan-perusahaan Eropa itu pun gulung tikar.
Pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok kecil rakyat di daerah juga menginspirasi Minke. Kelompok rakyat itu berhenti membayar pajak dan tidak melaporkan pekerjaan-pekerjaan ke penguasa lokal. Cara tersebut ternyata cukup ampuh untuk merepotkan penguasa.
Walau demikian, Minke menganggap boikot yang lebih besar dan luas belum bisa dilaksanakan. Rakyat Hindia perlu disiapkan terlebih dahulu. Unsur pemersatu yang mengikat bangsa-bangsa di Hindia perlu disepakati. Organisasi-organisasi harus disempurnakan dan diperluas bentangan sayapnya.
Minke tak sempat menuntaskan masa-masa penting persiapan tersebut. Suatu tindakan di luar hukum yang dilakukan oleh polisi merenggut kebebasan Minke justru saat ia hendak melangkah menjangkau dunia di luar Hindia.
Hindia Dulu, Indonesia Sekarang
Mengupas Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer mau tidak mau membuat kita melongok apa yang terjadi dan sedang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Minke sepenuhnya benar bahwa setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. Pramoedya secara akurat meringkas watak alami kekuasaan baik dulu maupun nanti yang tak pernah berubah. Bahwa menumpukkan kekuasaan pada kekuatan milier adalah pembuka jalan bagi berlangsungnya kesewenangan-sewenangan.
Gejala tersebut sekarang nampak melalui revisi UU TNI yang merestui tentara untuk menjangkau lebih luas lini kehidupan sipil. Tugas yang bertambah berarti penambahan wewenang. Dan wewenang yang bertambah disertai pula penambahan hak. Dan hak yang berlebihan adalah penindasan.