Nama-nama mereka tenggelam. Hanya sedikit yang bertahan. Itu pun tak mampu bersaing dengan sejawatnya dari negara lain.
Melihat Timnas U16 di TV semalam seolah memperjelas bahwa kita tak pernah insaf. Bukannya merawat mimpi garuda muda, kita justru ramai-ramai merusaknya.
Sebelumnya juga ada seruan "local pride" dari salah satu pelatih saat seremoni penyerahan medali dan piala. Sesumbar semacam itu cenderung mengekspresikan nasionalisme sempit yang bisa mengarah ke rasialisme. Apa jadinya jika para pemain remaja sudah terpapar pada cara pandang yang keliru semacam itu? Ironisnya itu justru bersumber dari circle terdekat mereka.
Banyak pihak, entah sadar atau tak sadar sedang merusak mimpi timnas muda ini. Barangkali kita yang kelewatan menabur puja-puji pun termasuk yang ikut merusak. Ramai-ramai menganggap sedang memberi apresiasi, padahal yang dilakukan ialah mengulangi dosa lama lewat kesalahan yang sama.
Semoga sekarang saat para punggawa timnas remaja bangun tidur di pagi hari, bukan jumlah follower yang menjadi perhatian mereka ketika membuka media sosial. Bukan cepat-cepat untuk memeriksa DM dari para penggemar. Bukan sibuk memikirkan foto yang estetik untuk promosi produk. Bukan pula scrolling calon-calon gebetan yang bisa didekati.
Semoga pula sesumbar "local pride" tak meracuni aliran darah mereka. Para garuda muda perlu menyadari bahwa mimpi yang mereka punyai tentang sepakbola pada dasarnya adalah mimpi kolektif yang harus diupayakan bersama-sama tanpa memandang kasta "local", "ori", "asing", maupun "naturalisasi".
Pada hari peringatan kemerdekaan RI, ternyata kita belum merdeka dari kesalahan-kesalahan lama.
Cukup generasi lalu yang gagal. Jangan rusak mimpi baru yang sekarang sedang bersemi. Agar 5 dan 10 tahun masih bisa kita dapatkan kabar manis dari garuda muda ini.