Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ramai-ramai Merusak (Mimpi) Timnas Garuda Muda

18 Agustus 2022   08:16 Diperbarui: 20 Agustus 2022   04:00 3388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PSSI memboyong timnas U16 ke acara TV pada 17 Agustus 2022 (dok.pribadi).

Followernya sudah banyak? Sudah boleh pacaran? Sudah diajari cara menggaet cewek?

Hal-hal semacam itu sebenarnya sudah biasa. Bukan tabu juga di kalangan para remaja masa kini. Media sosial dan kehidupan asmara berhak dipunyai setiap orang.

Namun, cukup memprihatinkan dialog tentang jumlah follower media sosial, pacar, dan cara menggaet cewek muncul dalam "malam apresiasi" untuk Timnas U16 di salah stasiun TV pada Rabu (17/8/2022). Dilontarkan kepada sejumlah punggawa tim yang baru saja merebut gelar juara.

Lebih memprihatinkan lagi pada acara ramai yang dibalut pertunjukkan musik  itu, turut hadir Ketua dan Sekjen PSSI. Mereka muncul di acara hiburan TV, sementara ada urusan lain yang lebih darurat untuk diurus, yakni terancam batalnya agenda FIFA Matchday Timnas Indonesia.

Memberi apresiasi memang perlu. Namun, apa yang tersaji semalam di TV agaknya konyol dan menggelikan. Para pengurus dan pejabat federasi duduk di baris lebih depan. Memajang muka dan senyum sumringah. Terpancar rasa bangga yang mencolok. Seolah mereka adalah pahlawan yang sesungguhnya. Sementara para remaja di belakangnya hanya pemain biasa.

Sebagai circle terdekat para pemain, para pejabat federasi dan tim pelatih mestinya bisa "menjaga" Timnas muda dari segala hal yang belum terlalu penting untuk diperkenalkan.

Memboyong skuad timnas ke acara TV dan memaparkan kepada mereka dunia popularitas merupakan ide buruk. Itu sama artinya membawa para pesepakbola remaja ke simpang jalan. 

Saat host menanyakan tentang jumlah follower dan penggemar, tanpa disadari ia sedang menggiring para bintang muda sepakbola Indonesia untuk memikirkan popularitasnya. Saat host lainnya menanyakan perihal pacaran, itu merupakan pertanyaan buruk yang menggoda para pahlawan muda untuk mempertimbangkan hubungan asmara di saat mereka baru saja memulai mimpinya di sepakbola.

Lumayan buruk pula saat host menyinggung soal kemungkinan para pemain sudah diajari cara menggaet hati cewek oleh pelatih kiper mereka.

Mengapa itu buruk? Sebab sang host merupakan komentator sepakbola sekaligus manajer operasional tim sepakbola Liga 1. Sukar dipercaya seseorang yang mengurus tim profesional ternyata kurang profesional dalam memahami esensi kebutuhan dan kehidupan sepakbola pemain remaja.

Kalau maksudnya hanya bercanda, maka candaan itu bisa menjadi contoh yang kurang baik bagi para pemain. Sebab pernyataan tentang "menggaet cewek" memberi kesan bahwa ketika sudah menjadi pemain sepakbola yang populer dan punya banyak penggemar, asmara bisa menjadi urusan berikutnya yang perlu dipikirkan.

Para pendukung garuda layak cemas menyaksikan para pemain Timnas U16 di acara TV semalam. Terlihat bahwa para garuda remaja itu membutuhkan support system yang lebih baik. Timnas U16 butuh circle yang lebih mampu memahami dan merawat mimpi mereka sebagai pemain sepakbola masa depan.

Jika selama ini kita menganggap ekosistem Liga Indonesia yang kurang baik sebagai penyebab layunya banyak potensi muda, maka kini kita perlu melihat lebih dalam lagi.

Barangkali bukan liganya yang teramat buruk. Mutu liga memang mempengaruhi. Namun, bagaimana para pemain itu dibentuk, dijaga, dan dirawat perlu untuk ditelisik. Bisa jadi pengaruh orang-orang di sekitar pemainlah yang menjadi awal mula rusaknya mimpi dan bakat para pemain Indonesia.

Baru menjadi juara kelompok remaja, sudah digiring menuju dunia popularitas yang berpedoman pada jumlah follower. Baru sekali merebut piala, mereka sudah diagungkan layaknya pujaan yang bisa memikat banyak hati. Baru meraih podium di tingkat Asean mereka sudah dipaparkan pada perlakuan-perlakuan yang melenakan seolah mereka telah berada di puncak prestasi tertinggi.

Mau heran, tapi ini sepakbola Indonesia (dok.pribadi).
Mau heran, tapi ini sepakbola Indonesia (dok.pribadi).
Bukan dunia selebritas dan popularitas semacam itu yang perlu dipaparkan pada diri seorang pemain remaja. Mereka mestinya dibuka wawasan dan cara pandangnya tentang masa depan sepakbola yang lebih menggairahkan. Dipaparkan pada rencana pengembangan diri untuk bersiap bermain di luar negeri jauh lebih berguna dibanding diboyong ke acara TV untuk mendapatkan popularitas dan penggemar.

Mereka membutuhkan tuntunan yang benar agar mimpi-mimpi sepakbola dalam diri mereka tidak meredup. Supaya motivasinya terus tumbuh dan tidak terdistraksi. Agar tidak puas setelah menjadi populer dan punya banyak follower.

Namun, apa daya nasib Timnas U16 ini. Barangkali dijadikan etalase promosi oleh para pemilik ambisi yang tidak punya visi sepakbola.

Barangkali karena ini pula Tuhan belum mengizinkan sepakbola Indonesia berprestasi tinggi. Sebab Tuhan tidak mau kita melihat banyak mimpi yang dirusak sejak dini.

Dosa yang sama terus diulang. Dulu pernah kita punya timnas muda yang dianggap generasi emas. Sekali mengalahkan Korea Selatan lalu dipuja setinggi langit. Dibawa menatap banyak layar kaca dan tur nusantara.

Lalu apa hasilnya? Kita tak pernah punya lagi cerita tentang prestasi mereka. Sekali podium juara, tapi tak pernah berlanjut kisah hebatnya.

Nama-nama mereka tenggelam. Hanya sedikit yang bertahan. Itu pun tak mampu bersaing dengan sejawatnya dari negara lain.

Melihat Timnas U16 di TV semalam seolah memperjelas bahwa kita tak pernah insaf. Bukannya merawat mimpi garuda muda, kita justru ramai-ramai merusaknya.

Sebelumnya juga ada seruan "local pride" dari salah satu pelatih saat seremoni penyerahan medali dan piala. Sesumbar semacam itu cenderung mengekspresikan nasionalisme sempit yang bisa mengarah ke rasialisme. Apa jadinya jika para pemain remaja sudah terpapar pada cara pandang yang keliru semacam itu? Ironisnya itu justru bersumber dari circle terdekat mereka.

Banyak pihak, entah sadar atau tak sadar sedang merusak mimpi timnas muda ini. Barangkali kita yang kelewatan menabur puja-puji pun termasuk yang ikut merusak. Ramai-ramai menganggap sedang memberi apresiasi, padahal yang dilakukan ialah mengulangi dosa lama lewat kesalahan yang sama.

Semoga sekarang saat para punggawa timnas remaja bangun tidur di pagi hari, bukan jumlah follower yang menjadi perhatian mereka ketika membuka media sosial. Bukan cepat-cepat untuk memeriksa DM dari para penggemar. Bukan sibuk memikirkan foto yang estetik untuk promosi produk. Bukan pula scrolling calon-calon gebetan yang bisa didekati.

Semoga pula sesumbar "local pride" tak meracuni aliran darah mereka. Para garuda muda perlu menyadari bahwa mimpi yang mereka punyai tentang sepakbola pada dasarnya adalah mimpi kolektif yang harus diupayakan bersama-sama tanpa memandang kasta "local", "ori", "asing", maupun "naturalisasi".

Semoga! (dok.pribadi).
Semoga! (dok.pribadi).

Pada hari peringatan kemerdekaan RI, ternyata kita belum merdeka dari kesalahan-kesalahan lama.

Cukup generasi lalu yang gagal. Jangan rusak mimpi baru yang sekarang sedang bersemi. Agar 5 dan 10 tahun masih bisa kita dapatkan kabar manis dari garuda muda ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun