Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Bercermin dari SEA Games 2021 Vietnam, Bulutangkis Indonesia Terus Melemah?

24 Mei 2022   08:41 Diperbarui: 24 Mei 2022   08:50 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thailand, penguasa baru supremasi bulutangkis Asean menggusur Indonesia (dok. PBSI).

Jika Sea Games menggambarkan peta kekuatan olahraga di kawasan dan setiap pertandingan mencerminkan kualitas pembinaan cabang olahraga. Maka Sea Games ke-31 di Vietnam menyuguhkan fakta kurang menggembirakan bagi bulutangkis Indonesia. Gagal memenuhi target medali, Indonesia juga bukan lagi raja bulutangkis di Asean. Ketimpangan pembinaan antar sektor membuat kekuatan bulutangkis Indonesia terus melemah.

Mendung bergelayut di Cipayung. Sekali lagi bulutangkis Indonesia harus menerima nasib kurang beruntung.

Kegagalan mempertahankan Piala Thomas usai dikalahkan secara tragis oleh India rupanya berlanjut di arena Sea Games Vietnam. Pasukan kedua dari Pelatnas Cipayung yang diharapkan meraih minimal 3 emas gagal memenuhi target.

Hanya 2 emas yang bisa diamankan Indonesia. Pasangan ganda putri yang baru dipasangkan, Apriyani Rahayu/Siti Fadia menyumbang emas pertama setelah mengalahkan pasangan Thailand.

Emas kedua hadir dari All Indonesia Final di ganda putra yang dimenangkan oleh Leo Carnando/Daniel Marthin. Sementara Pramudya/Yeremia yang baru saja meraih gelar juara Asia harus puas dengan medali perak.

Total Indonesia merebut 2 emas, 2 perak, dan 5 perunggu dari arena tepok bulu. Hasil yang patut disyukuri. Perjuangan para atlet di lapangan pun perlu diapresiasi.

Walau demikian bagi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai raksasa bulutangkis dunia, hasil tersebut tergolong minor. Selain capainnya menurun tajam, performa beberapa atlet dari sektor yang menjadi tumpuan juga tak sesuai harapan.

Pukulan telak sudah langsung diterima Indonesia dari sektor beregu putra yang dipertandingkan lebih awal. Indonesia gagal mempertahankan tradisi emas beregu putra yang sudah belasan tahun terjaga.  Tim putra bahkan gagal melangkah ke final dan hanya kebagian keping perunggu.

Ironisnya, kegagalan itu ditandai dengan kandasnya para tunggal putra yang dipimpin oleh Chico Wardoyo. Kekalahan 3 tunggal putra membuat kecemerlangan 2 ganda putra menjadi tak berarti.

Hasil yang lebih baik diraih oleh tim beregu putri. Meski diwarnai kekalahan mengejutkan Gregoria Mariska yang membuatnya tak dimainkan lagi di pertandingan berikutnya, Apriyani Rahayu dkk. mampu menjejak ke final. Sayang harapan meraih emas digagalkan oleh Thailand.

Pada saat yang sama Negeri Gajah Putih itu berhasil mengawinkan emas beregu putri dan putra, sekaligus menjadi juara umum bulutangkis Sea Games edisi kali ini. Capaian yang membuat Thailand secara de facto meneguhkan diri sebagai raja bulutangkis di Asia Tenggara menggusur supremasi Indonesia.

Gagal di nomor beregu, Indonesia sebenarnya memiliki peluang yang lebih baik di nomor individu. Sayangnya, hasil di lapangan tak sesuai harapan. Para pebulutangkis Cipayung dihadang oleh lawan-lawannya, terutama dari Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Meski separuh skuad Indonesia yang diturunkan di Sea Games Vietnam merupakan pemain pelapis, tapi kegagalan memenuhi target emas tetap memprihantinkan. Sebab Thailand dan Malaysia pun tidak menurunkan pasukan terbaik mereka.

Sementara di sektor tunggal putri dan ganda campuran, Indonesia menurunkan skuad utama. Namun, faktanya kedua sektor tersebut gagal tampil maksimal. Dua ganda campuran Indonesia hanya meraih perunggu setelah dikalahkan oleh wakil-wakil Malaysia. Begitu pun tunggal putri Gregoria Mariska yang gagal menyumbang poin di pertandingan beregu lalu gagal menembus final perorangan setelah dikalahkan wakil Thailand yang tidak diunggulkan.

Oleh karena itu, melesetnya target medali di Vietnam sepatutnya diwaspadai oleh PBSI. Buruknya performa tunggal putra, lemahnya fisik dan daya juang pemain senior seperti Gregoria Mariska, serta inkonsistensi ganda campuran merupakan alarm bahaya yang perlu ditangkap oleh para pelatih.

Mengingat sama-sama diperkuat oleh sebagian pemain pelapis, kekuatan Indonesia, Thailand, dan Malaysia pada Sea Games kali ini sebenarnya bisa menjadi gambaran kekuatan ketiga negara pada 2 atau 3 tahun mendatang.

Dalam hal ini, Indonesia baru bisa menarik nafas lega pada sektor ganda putra yang saling bergantian merebut juara. Ganda putri pun menawarkan harapan besar. Sebab Apriyani/Siti yang digadang-gadang menjadi penerus Greysia/Apriyani berhasil memulai debutnya baik. Sedangkan para srikandi muda yang diturunkan secara terpisah di Piala Uber lalu telah melakukan kampanye yang positif.

Di luar ganda putra dan ganda putri, perkembangan sektor lainnya bisa dikatakan mengkhawatirkan. Ambil contoh tunggal putra yang belum memunculkan nama paling menjanjikan sebagai penerus Ginting, Jojo, dan Seshar.

Chico Wardoyo, Christian Adinata, dan Boby yang cukup baik di lever junior, ternyata masih sulit untuk menaikkan level permainannya di tingkat yang lebih tinggi.  Di Sea Games Vietnam performa mereka sangat mengecewakan karena gagal meraih medali di nomor perorangan. Tim pelatih pun menyoroti mental tunggap putra yang belum mampu memikul beban dan tekanan lebih besar.

Pada saat yang sama negara tetangga seperti Thailand dan Singapura telah lebih dulu memunculkan tunggal putra yang relatif muda, tapi sanggup bersaing di level elit dunia. Final tunggal putra antara Loh Kean Yew melawan Kunlavut Vidtisarn memperlihatkan bahwa level keduanya sudah di atas Chico dkk.

Sektor tunggal putri tak kalah mencemaskan. Gregoria Mariska yang sudah 4 tahun naik ke level senior belum memperlihatkan loncatan besar. Kekurangannya dalam aspek stamina dan kelincahan masih belum teratasi. Kekuatan mentalnya sebagai pemain senior pun belum mantap. Itu diakuinya sendiri usai kalah dalam pertandingan beregu. Akibatnya ia kesulitan menghadapi lawan-lawan di tingkat Asean yang tidak seberapa ketatnya dibanding level Asia dan dunia.

Untungnya harapan muncul dari Putri KW yang mampu menemani Gregoria di podium perunggu. Ada pula Bilqis dan Komang yang baru saja "tebar pesona" di Piala Uber.

Senasib dengan tunggal putri, sektor ganda campuran pun tak sesuai harapan. Dua pasangan utama Pelatnas Cipayung gagal juara usai dikalahkan oleh pelapis ganda campuran Malaysia.

Dengan demikian cukup alasan untuk mengatakan bahwa hasil Sea Games di Vietnam mencerminkan bahwa bulutangkis Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ada ketimpangan yang cukup lebar dalam pembinaan bulutangkis tanah air. Ketimpangan yang tidak hanya antar sektor, tapi juga antar generasi. Itu tercermin dari prestasi di nomor beregu dan perorangan.

Menganggap prestasi bulutangkis Indonesia masih "mending" dibanding negara jiran seperti Malaysia dan Singapura merupakan kekeliruan. Sebab kemajuan bulutangkis dunia saat ini bergulir sangat cepat.

Menilai keberhasilan pembinaan bulutangkis tidak bisa dengan hanya membandingkannya dengan satu negara jiran. Untuk mengukur kekuatan bulutangkisnya, Indonesia perlu melihat kemajuan yang dicapai oleh lebih banyak negara.

Jika Sea Games menggambarkan peta kekuatan olahraga di kawasan dan setiap pertandingan mencerminkan kualitas pembinaan cabang olahraga. Maka Sea Games ke-31 di Vietnam menyuguhkan fakta kurang menyenangkan bagi bulutangkis Indonesia.

Bulutangkis Indonesia perlu terus berbenah agar bisa bangkit lebih cepat. Terlena dengan capaian masa lalu dan terjebak dalam rivalitas sempit dengan negara tertentu akan membuat Indonesia sulit merebut kembali supremasi-supremasi utama bulutangkis dunia. Piala Thomas & Uber serta Piala Sudirman yang mensyaratkan kekuatan merata antar sektor dan generasi akan sulit digapai.

Paceklik gelar di tunggal putri dan ganda campuran akan berlangsung lebih lama jika tak ada pembinaan dan pembenahan radikal mengingat semakin banyak negara yang telah mengungguli Indonesia di kedua sektor tersebut. Padahal beberapa tahun lalu Indonesia ditakuti di sektor ganda campuran. Beberapa dekade lalu para tunggal putri Indonesia bagaikan ratu di arena bulutangkis dunia.

Saat ini harus diterima bahwa Indonesia bukan lagi raja bulutangkis di kawasan. Meski beberapa nama dari Indonesia masih tercatat di papan atas persaingan dunia, tapi ketimpangan yang cukup lebar antar sektor membuat kekuatan Indonesia terus melemah.

Solusinya hanya satu. Yakni meningkatkan kualitas pembinaan dan latihan dengan menyadari bahwa persaingan bulutangkis dunia bergulir sangat cepat dan semakin dinamis.

Banyak negara saat ini telah berhasil mencetak kemajuan signifikan di arena bulutangkis. Calon-calon juara baru telah lahir dari sejumlah negara yang dulu tidak diperhitungkan. Jangan sampai Indonesia hanya jadi pelengkap podium kedua atau ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun