Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jokowi yang Penuh Paradoks, "Mengendorse" Pernikahan Artis lalu Izinkan Tarawih Berjamaah

6 April 2021   08:23 Diperbarui: 6 April 2021   12:08 2702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murah wajah Presiden Jokowi | dokumentasi pribadi.

Lazimnya, kepala negara meminta bantuan artis untuk mengendorse dan mengkampanyekan program pemerintah. Tapi di Indonesia, justru presiden yang secara langsung mengendorse agenda selebritis dan kepentingan bisnis media.

Apakah itu salah? Entahlah. Namun, memang penuh paradoks dan tidak peka.

Beginilah yang sedang kita saksikan sekarang tentang Indonesia di tengah pandemi. Beberapa hari lalu kita melihat orang nomor satu di republik menghadiri pernikahan selebritis dan youtuber nomor wahid. Bukan hanya hadir untuk bertamu, tapi secara istimewa presiden menjadi saksi nikah mempelai.

Paradoks sekali kehadiran presiden. Saat masyarakat ramai-ramai memprotes dan menolak penyelewengan frekuensi publik untuk siaran tak bermutu, presiden justru secara terang-terangan merestui acara tersebut.

Mengendorse Artis

Bisa dikatakan presiden telah "mengendorse" pernikahan sang artis. Hampir dipastikan keuntungan yang sangat besar dinikmati oleh penyelenggara dan stasiun TV berkat kehadiran presiden.

Paling tidak ada 2 ketidakpekaan yang diperlihatkan oleh presiden. Pertama, ketidakpekaan dalam memahami suara-suara masyarakat yang sejak jauh hari menolak tayangan siaran langsung rangkaian hajatan sang artis.

Sayangnya KPI yang menjadi tumpuan telah gagal memenuhi harapan publik. Ketika KPI tidak berdaya, masyarakat mencoba untuk pasrah. Satu-satunya cara yang paling mungkin dilakukan ialah dengan tidak menonton siaran dan acara tersebut.

Akan tetapi ketika presiden juga hadir dan ikut "mengendorse" acara masyarakat segera mengetahui bahwa bukan hanya KPI yang tak berdaya, tapi presiden pun rupanya tak peduli dengan hak masyarakat atas frekuensi publik.

Kaitannya dengan frekuensi publik itulah presiden memperlihatkan paradoks dan ketidakpekaan berikutnya. Yakni tentang pentingnya kualitas penyiaran.

Perlu diketahui bahwa pada tanggal 1 April 2021 Indonesia baru memperingati Hari Penyiaran Nasional yang dipusatkan di Surakarta dan presiden menyampaikan pidato peringatannya secara virtual.

Pilihan presiden untuk "mengendorse" acara pernikahan pasangan selebritis bertolak belakang dengan harapan yang disampaikannya pada hari penyiaran. Presiden ternyata lebih berpihak pada kepentingan bisnis media dan pamor selebritis dibanding mengutamakan kebutuhan publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan bermutu.

Kita jadi paham sekarang mengapa wajah TV Indonesia menjadi rusak. Salah satunya karena selalu ada ketidaksesuian antara yang tertulis di naskah pidato dan teks peraturan dengan apa yang dilakukan. Ironisnya hal-hal yang kurang baik itu justru dicontohkan oleh para pemimpin kita.

Memperpanjang PPKM, Tapi Melonggarkan Aturan

Senin, 5 April 2021 pemerintah mengumumkan bahwa PPKM akan diperpanjang selama dua minggu. Pada hari yang sama diumumkan pula bahwa mutasi Corona E484K telah ditemukan di Indonesia. Varian virus yang lebih mudah menular dan bisa memicu reinfeksi itu telah menginfeksi seorang warga Jakarta.

Akan tetapi pada hari yang sama pula, pemerintah memutuskan mengizinkan digelarnya salat tarawih berjamaah selama Ramadan.

Sekali lagi paradoks dipertontonkan. Izin untuk menggelar tarawih berjamaah telah membuat PPKM kehilangan sebagian esensinya dalam membatasi kegiatan masyarakat di luar rumah.

Pemerintah lupa bahwa pada awal pandemi Covid-19 ekspresi keagamaan menjadi salah satu faktor penghambat terbesar penegakkan protokol kesehatan. Kini justru pemerintah yang memulainya sendiri.

Mengizinkan tarawih berjamaah dengan imbuhan "asalkan mematuhi protokol kesehatan" kembali menjadi andalan untuk melakukan pelonggatan. Padahal kita tahu, imbuhan "asalkan mematuhi protokol kesehatan" hanya pemanis yang dalam praktik di lapangan sulit ditegakkan dan jarang dikenai sanksi tegas.

Dalam hal ini pemerintah menggampangkan masalah. Seolah protokol kesehatan telah dan bisa dilakukan secara baik di setiap masjid atau musola.

Faktanya, berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, sangat sedikit masjid yang menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Di kampung-kampung hampir tak ada masjid dan mushola yang melakukan pemeriksaan suhu tubuh pada jamaahnya. Aturan jaga jarak dalam saf salat hanya diterapkan pada awal-awal pandemi saja. Kini kondisinya kembali rapat seperi sebelum pandemi. Jamaah pun mulai melepas masker mereka di masjid dengan keyakinan bahwa tidak diperbolehkan salat di masjid sambil menutup wajah.

Hal-hal seperti demikian mestinya dipertimbangkan serius oleh pemerintah. Apalagi salat tarawih di bulan Ramadan hukumnya hanya sunah.

Ditemukannya varian mutasi baru di Indonesia seharusnya dijadikan momentum dan pintu masuk untuk memperketat pengawasan dan kepatuhan masyarakat. Sayangnya yang dilakukan pemerintah justru sebaliknya. Restu untuk menggelar salat tawarih berjamaah sama artinya memperbesar peluang dan peningkataan risiko penyebaran Covid-19 di tengah ancaman mutasi virus yang bisa lebih menular.

Tarawih dan Kerumunan-kerumunannya

Salah satu alasan pemerintah memberikan kelonggaran kegiatan masyarakat saat Ramadan ialah telah bergulirnya vaksinasi Covid-19. Seolah vaksinasi telah menjamin tuntasnya masalah.

Padahal capaian target vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih rendah. Tahapan vaksinasi pada kaum lansia bahkan melambat. Sementara itu diakui oleh Menteri Kesehatan akan ada kemungkinan perlambatan pasokan vaksin karena negara-negara asal vaksin sedang mengalami gelombang ketiga pandemi. Negara-negara tersebut memprioritaskan vaksin untuk digunakan bagi kebutuhan mereka terlebih dahulu.

Patut dikhawatirkan ialah penyebaran dan penularan Covid-19 selama Ramadan  akanmeningkat tak terkendali karena pelonggaran-pelonggaran seperti salat berjamaah. Pada saat penularan lebih cepat, vaksinasi menjadi kurang efektif.

Oleh karena itu, pemerintah mestinya lebih memaksimalkan percepatan vaksinasi selama Ramadan. Salah satunya dengan membatasi kegiatan masyarakat. Bukan justru sebaliknya.

Izin salat tarawih berjamaah memperlihatkan ketidakpekaan pada fenomena sosial budaya selama Ramadan. Pemerintah seolah meremehkan urusan tarawih hanya sekadar ibadah di masjid.

Ledakan jumlah jamaah kemungkinan besar akan terjadi dan sulit dibendung. Sebab masyarakat akan melampiaskan "kerinduannya" pada tarawih yang tahun lalu dilarang.

Pada titik inilah protokol kesehatan semakin sulit ditegakkan. Sebab membatasi jumlah jamaah tidak semudah menolak tamu yang datang ke rumah.

Hal lain yang diabaikan oleh pemerintah ialah kenyataan bahwa tarawih selama Ramadan di Indonesia selalu disertai aktivitas kerumunan-kerumunan lainnya. Di kota-kota besar misalnya, orang-orang akan ramai datang ke masjid di pusat kota yang biasanya berada dekat dengan alun-alun dan pusat belanja.

Hari ini saja dan sudah terjadi sejak beberapa bulan terakhir, pusat-pusat keramaian telah kembali padat. Masjid-masjid di tengah kota telah marak oleh aktivitas masyarakat yang berkegiatan ibadah dan ekonomi.

Diperbolehkannya tarawih berjamaah kemungkinan juga akan dijadikan pembenaran untuk diselenggarakannya kegiatan-kegiataan lainnya dalam kerumunan di lingkungan masjid. Buka bersama di masjid dan mushola dengan dalih sambil menunggu tarawih, pengajian akbar dan sebagainya sulit dicegah.

Bisa dibayangkan betapa semakin ramainya kerumunan itu saat Ramadan. Sebab sudah menjadi kebiasaan bahwa sebelum dan sesudah tarawih orang-orang tidak akan diam di rumah.

Masyarakat akan memadati tempat-tempat makan dan bersantai menikmati "kebebasan". Apalagi jika usulan untuk menambah jam operasi tempat makan dan kapasitasnya menjadi 75% pengunjung selama Ramadan direstui oleh pemerintah-pemerintah daerah. Maka waktu sebelum dan sesudah tarawih akan menjadi titik kritis kerumunan yang memicu "pesta Corona".

Indonesia telah mengupdate kampanye protokol kesehatan dari 3M menjadi 5M. Salah satu unsur baru yang dimasukkan dalam 5M ialah "menghindari kerumunan". Sayangnya berbagai paradoks  yang diperlihatkan oleh presiden dan pemerintah seperti disebutkan di atas justru telah mempromosikan pelanggaran terhadap aturan 5M.

Semoga saja semua itu bukan isyarat bahwa Pak Presiden sedang mengalami disorientasi dan sudah pasrah terhadap masalah pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun