Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi Mungkin Telah Dibohongi Berulang Kali Selama Pandemi

16 Oktober 2020   08:10 Diperbarui: 16 Oktober 2020   08:33 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Katanya dalam statistika terdapat seni mempresentasikan data dan angka. Sementara dalam seni itu ada pilihan-pilihan.

Misalnya suatu kelas yang terdiri dari 20 murid, 12 di antaranya memiliki kecerdasan yang baik, sedangkan 8 sisanya kurang pandai. Seorang guru mungkin akan membuat laporan evaluasi kepada kepala sekolah dengan penuh percaya diri: "Mayoritas siswa telah tuntas belajarnya". Namun, seorang pemeriksa yang juga melihat laporan itu berkata: "Hampir separuh siswa masih bodoh".

Begitulah seni menyampaikan data. Ada diplomasi serta kebijaksanaan untuk memilih mana yang hendak dicetak tebal dan menyaring mana yang cukup dicetak tipis atau malah tidak perlu dicetak. Ada pula kebijaksanaan untuk memperhalus data dan angka lewat bahasa.

Selama pandemi Covid-19 masyarakat Indonesia juga disuguhi aliran data dan angka hasil olah statistika. Setiap hari selama lebih dari 7 bulan terakhir mata dan telinga kita tak henti menangkap berita-berita soal jumlah sampel diperiksa, jumlah penambahan kasus positif, jumlah kasus aktif, jumlah OTG, jumlah yang sembuh, jumlah yang meninggal, dan seterusnya.

Kita pun bisa menyaksikan bagaimana para pejabat publik memainkan seni memilih dan menyampaikan data-data di atas. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, misalnya, cenderung menonjolkan data-data kesembuhan.

Beberapa kali dalam penyampaiannya kepada masyarakat, jumlah pasien yang sembuh disebutkan pada bagian pertama. Sedangkan angka kematian disusulkan di akhir. Kadang tak disebutkan.

Pilihan kebijaksanaan untuk mempriotitaskan penyampaian angka kesembuhan bisa dilandasi maksud tertentu. Mungkin angka kesembuhan memang yang paling signifikan sehingga perlu lebih ditekankan informasinya. Mungkin juga dengan mengedepankan angka kesembuhan bisa meningkatkan optimisme masyarakat sekaligus berdampak positif pada citra pemerintah.

Atau mungkin karena paradigma penanganan pandemi sejak awal memang berorientasi pada penyembuhan sebanyak-banyaknya. Jadi asalkan yang sembuh lebih banyak, maka penanganan pandemi sudah cukup dianggap berhasil.

Sementara itu dalam menyampaikan angka kematian, terdapat pilihan untuk menggunakan tingkat kematian, kematian absolut, atau jumlah kematian total. Jika dari ketiga parameter kematian tersebut ada yang "lebih baik", maka itulah yang lebih ditekankan untuk disampaikan.

Seni mempresentasikan data dengan pilihan-pilihan semacam itu bisa diterima. Akan tetapi titik kritis statistika bukan pada penyampaian data dan angka. Melainkan pada bagaimana data atau angka itu dihasilkan dan dikelola.

Sejumlah pihak telah mengkritik kualitas data pandemi di Indonesia. WHO bahkan pernah mengungkap lemahnya pelaporan dan realibilitas data pandemi yang dikelola oleh pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun