Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi Mungkin Telah Dibohongi Berulang Kali Selama Pandemi

16 Oktober 2020   08:10 Diperbarui: 16 Oktober 2020   08:33 489 8
Katanya dalam statistika terdapat seni mempresentasikan data dan angka. Sementara dalam seni itu ada pilihan-pilihan.

Misalnya suatu kelas yang terdiri dari 20 murid, 12 di antaranya memiliki kecerdasan yang baik, sedangkan 8 sisanya kurang pandai. Seorang guru mungkin akan membuat laporan evaluasi kepada kepala sekolah dengan penuh percaya diri: "Mayoritas siswa telah tuntas belajarnya". Namun, seorang pemeriksa yang juga melihat laporan itu berkata: "Hampir separuh siswa masih bodoh".

Begitulah seni menyampaikan data. Ada diplomasi serta kebijaksanaan untuk memilih mana yang hendak dicetak tebal dan menyaring mana yang cukup dicetak tipis atau malah tidak perlu dicetak. Ada pula kebijaksanaan untuk memperhalus data dan angka lewat bahasa.

Selama pandemi Covid-19 masyarakat Indonesia juga disuguhi aliran data dan angka hasil olah statistika. Setiap hari selama lebih dari 7 bulan terakhir mata dan telinga kita tak henti menangkap berita-berita soal jumlah sampel diperiksa, jumlah penambahan kasus positif, jumlah kasus aktif, jumlah OTG, jumlah yang sembuh, jumlah yang meninggal, dan seterusnya.

Kita pun bisa menyaksikan bagaimana para pejabat publik memainkan seni memilih dan menyampaikan data-data di atas. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, misalnya, cenderung menonjolkan data-data kesembuhan.

Beberapa kali dalam penyampaiannya kepada masyarakat, jumlah pasien yang sembuh disebutkan pada bagian pertama. Sedangkan angka kematian disusulkan di akhir. Kadang tak disebutkan.

Pilihan kebijaksanaan untuk mempriotitaskan penyampaian angka kesembuhan bisa dilandasi maksud tertentu. Mungkin angka kesembuhan memang yang paling signifikan sehingga perlu lebih ditekankan informasinya. Mungkin juga dengan mengedepankan angka kesembuhan bisa meningkatkan optimisme masyarakat sekaligus berdampak positif pada citra pemerintah.

Atau mungkin karena paradigma penanganan pandemi sejak awal memang berorientasi pada penyembuhan sebanyak-banyaknya. Jadi asalkan yang sembuh lebih banyak, maka penanganan pandemi sudah cukup dianggap berhasil.

Sementara itu dalam menyampaikan angka kematian, terdapat pilihan untuk menggunakan tingkat kematian, kematian absolut, atau jumlah kematian total. Jika dari ketiga parameter kematian tersebut ada yang "lebih baik", maka itulah yang lebih ditekankan untuk disampaikan.

Seni mempresentasikan data dengan pilihan-pilihan semacam itu bisa diterima. Akan tetapi titik kritis statistika bukan pada penyampaian data dan angka. Melainkan pada bagaimana data atau angka itu dihasilkan dan dikelola.

Sejumlah pihak telah mengkritik kualitas data pandemi di Indonesia. WHO bahkan pernah mengungkap lemahnya pelaporan dan realibilitas data pandemi yang dikelola oleh pemerintah.

Beberapa lembaga yang mencoba membuat pemodelan pandemi di Indonesia ternyata juga gagal merumuskan prediksi terbaiknya. Kemungkinan besar karena kualitas data yang dihimpun dari sumber-sumber di Indonesia kurang memadai.

Sayangnya kelemahan itu terus dijumpai sampai saat ini. Masih saja terjadi perbedaan pencatatan oleh daerah dengan data yang disampaikan pemerintah pusat. Angka perbedaannya bisa sangat mencolok.

Ambil contoh, sampai hari ini kematian karena Covid-19 di Jawa Tengah memiliki perbedaan sampai 900 orang antara pencatatan oleh daerah dan pelaporan oleh pemerintah pusat. Hal demikian dijumpai pula di daerah-daerah lain dan pada parameter yang berbeda, tidak hanya angka kematian.

Anehnya, dengan lemahnya sistem data semacam itu pemerintah beberapa kali mengklaim bahwa pandemi sudah mampu ditangani. Presiden Jokowi dalam sejumlah kesempatan menegaskan bahwa pandemi telah berhasil dikendalikan.

Padahal, jumlah testing dan tracing di Indonesia masih belum memenuhi standar WHO. Dengan demikian klaim pemerintah telah berhasil mengendalikan pandemi bukan hanya diragukan, tapi juga tidak memiliki dasar yang kuat.

Menariknya lagi, juru bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito pada 1 Oktober lalu menyampaikan bahwa puncak pandemi di Indonesia tidak bisa diprediksi. Demikian pula kapan pandemi akan mulai menurun tidak bisa ditentukan.

Kalau dicermati mendalam, pernyataan tersebut justru bertolak belakang dengan klaim Presiden Jokowi sendiri yang mengatakan pandemi telah bisa dikendalikan. Sebab jika memang pandemi telah benar-benar terkendali, perkiraan-perkiraan mestinya bisa dirumuskan secara lebih akurat berdasarkan parameter-paramater yang ada.

Pernyataan juru bicara Satgas Covid-19 sebenarnya merupakan penyampaian tersirat bahwa data pandemi di Indonesia belum menggambarkan kondisi di lapangan sehingga belum cukup dijadikan landasan bagi kesimpulan yang besar. Apalagi, untuk mengklaim pandemi telah terkendali.

Dengan kata lain klaim bahwa pandemi di Indonesia telah bisa dikendalikan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, disadari atau tidak pernyataan Juru Bicara Satgas Covid-19 secara tidak langsung justru membantah klaim Presiden Jokowi.

Presiden Dibohongi?

Klaim bahwa pandemi di Indonesia telah terkendali mungkin didasari oleh analisis-analisis. Akan tetapi apa jadinya jika analisis dibuat berdasarkan data dan informasi yang kurang baik? Lebih mengkhawatirkan lagi jika data dan informasi yang kurang baik itu tidak mampu diverifikasi sejak awal oleh pemerintah.

Kita memang pantas khawatir kalau sejumlah pernyataan Presiden Jokowi yang kontradiktif selama pandemi ini disebabkan karena beliau mendapat pasokan informasi yang tidak memadai. Presiden memang tidak perlu membaca setiap data dan angka. Itu bukan pekerjaan seorang kepala negara. Walau demikian Presiden perlu memastikan bahwa laporan yang ia terima dari para pembantunya merupakan laporan yang apa adanya.

Fokus Presiden selama pandemi Covid-19 ini terpecah oleh sejumlah masalah besar seperti KPK, Pilkada, dan Omnibus Law. Dihadapkan pada polemik-polemik yang menyita banyak perhatian seperti itu, bisa dipahami jika kepekaan Presiden dalam mengkaji laporan yang diterimanya menjadi berkurang. Ia menjadi lebih bergantung pada para pembantunya. Dalam urusan tertentu, seperti laporan pandemi, Presiden mungkin hanya "dibriefing" oleh para pembantunya.

Sebagai orang yang selama ini menolak paradigma kerja "Asal Bapak Senang", Presiden Jokowi perlu kembali membuka mata dan telinganya untuk menjangkau masukan dan kritik dari pihak lain. Dengan demikian ia bisa mendapat kontrol dan verifikasi atas setiap laporan yang ia terima.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun