KONFLIK RASIONALITAS
_Wene kolig,Warisan dan gugatan pikiran_
Oleh Hun flocky
Bagian 1: Bara Pikiran di Lembah Adat
Lembah Baliem tidak hanya menyimpan tanah yang subur dan kabut pagi yang enggan hilang; ia juga menyimpan cara berpikir yang tak kasat mata arah hidup yang diwariskan bukan melalui buku, melainkan melalui ritus, pilihan diam, dan mata yang tahu ke mana harus menatap ketika musyawarah berlangsung.
Suku Hubula, masyarakat adat yang hidup di lereng pegunungan Jayawijaya, tidak membentuk pengetahuan dari sistem kurikulum formal, melainkan dari jalur tradisi yang disebut _wene kolig_. Ini bukan ajaran biasa, melainkan simpul spiritual dan sosial yang disimpan dengan kehati-hatian ekstrem. Hanya satu dari lima saudara, bahkan kadang tidak ada, yang dipercayakan menjadi pemegang wene kolig"dengan alasan yang tidak selalu bisa dijelaskan secara duniawi.
Pertanyaan yang menggeliat adalah ini: mengapa cara berpikir rasional yang mampu menimbang sebab akibat, menyusun argumentasi, dan mengenali benang penghubung suatu peristiwa menjadi sesuatu yang begitu elit, mahal, dan langka dalam sistem pewarisan pengetahuan adat ini?
Layaknya api kecil di tengah honai, wene kolig menyala dalam hening. Ia tidak menyala terang untuk semua, tapi cukup untuk menghangatkan satu jiwa yang dipilih. Namun bagaimana dengan yang lain, yang hanya duduk di pinggir api dan menebak arah nyalanya? Apakah mereka tumbuh dalam logika yang retak, atau justru menemukan jalur berpikir alternatif yang belum kita pahami?
Esai ini bukan untuk menjawab tuntas. Ia bertujuan untuk menjajaki, menggugat dengan hormat, dan menyentuh sisi terdalam dari cara masyarakat Hubula berpikir, hidup, dan mewarisi makna. Kita akan menyelami apa yang terjadi ketika logika disaring secara spiritual, dan apa dampaknya bagi generasi yang tidak terpilih sebagai pewaris bara itu.
DAFTAR ISI