Kebingungan warga bukan karena minim pengetahuan, melainkan karena mereka sedang berpikir. Mereka mengukur, merenung, dan mewaspadai kemungkinan: jangan sampai keputusan hari ini jadi kesalahan anak cucu nanti. Itu bukan keraguan, itu tanda bahwa kesadaran sedang tumbuh.
Apakah kita cukup sabar untuk mendengar ketika masyarakat belum menjawab "ya"?
Ataukah kita tergesa-gesa demi mengejar rencana yang tak sempat ditimbang?
Pembangunan Alternatif: Dari Kebutuhan, Bukan Kepentingan
Warga bertanya: mengapa tidak bangun di lahan kosong kota Wamena saja? Infrastruktur ada. Akses publik tersedia. Tidak perlu ada konflik tanah. Maka jika negara benar ingin melayani, pilihannya ada: bangun dengan mufakat, bukan dengan tergesa.
Lebih dari itu, masyarakat menyarankan arah pembangunan yang menumbuhkan:
Tingkatkan produksi lokal (kopi, hasil hutan, kebun)
Dorong investasi sosial berbasis klan dan komunitas
Bangun koperasi masyarakat adat seperti BUMMA
Libatkan rakyat bukan sebagai penonton, tapi pemilik
Perenungan Terakhir: Gedung Bisa Didirikan, Tapi Apakah Kepercayaan Ikut Dibangun?
Banyak hal bisa dibangun dalam waktu cepat---asal punya anggaran dan alat. Tapi hal-hal seperti rasa dihormati, rasa memiliki, dan rasa aman dalam tanah sendiri, itu tidak bisa dibeli atau dibangun dari luar. Ia harus dirajut bersama.
Maka pertanyaannya bukan lagi: "Di mana gedung akan dibangun?"
Tapi: "Apakah gedung itu akan membangun kita juga?"
Karena gedung bisa selesai sebelum akhir tahun. Tapi trauma sosial dan keretakan adat? Mungkin akan tinggal selama beberapa generasi.