Gedung Bisa Berdiri, Tapi Apakah Akarnya Mengizinkan?
Sebuah Analisis Kritis terhadap Pembangunan dan Penerimaan Masyarakat di Papua Pegunungan
Oleh: Hun flocky
Wara, Kamis, 3 Juli 2025
Di antara kabut pagi dan suara lembah yang tenang, ada satu wacana yang terus menggantung di antara warga: pembangunan kantor di Papua Pegunungan. Lokasinya disinyalir berada di antara distrik Pisugi, Libarek, dan Wita Waya---semua adalah tanah yang hidup, tempat leluhur menanam sejarah dan masyarakat mewarisi tanggung jawab.
Namun hingga kini, belum ada titik terang. Perdebatan justru semakin tajam, bukan karena masalah teknis lokasi, melainkan karena masyarakat mulai bertanya: apa yang sesungguhnya sedang dibangun? Gedung, atau kesepakatan? Pemerintahan, atau peminggiran baru?
Apakah masyarakat setempat benar-benar membutuhkan gedung itu?
Ataukah mereka sekadar dibutuhkan untuk memberi legitimasi?
Bahasa Negara dan Bahasa Lembah: Mengapa Tak Saling Dengarkan?
Pemerintah sering bicara soal "pelayanan publik", "penguatan otonomi", dan "simbol kehadiran negara". Tapi masyarakat tidak hidup dari simbol. Mereka hidup dari ladang, dari tatanan sosial klan, dan dari kesepakatan hati yang diwariskan turun-temurun.
Suku Hubula mengenal dua jenis hak atas tanah: hak warisan dan hak kuasa. Keduanya saling menghormati dan dijaga bukan oleh hukum negara, tapi oleh ingatan dan moral kolektif. Maka tanah bukan sekadar tapak, melainkan tubuh sosial yang tidak bisa dicabut tanpa luka.
Apa artinya pembangunan jika rakyat tidak merasa ikut memilikinya?
Strategi Atas Nama Negara, atau Skema Atas Nama Korporasi?
Warga lokal tidak buta. Mereka paham, banyak pembangunan di Papua selama ini berakhir menyisakan pengungsian, konflik, atau perubahan status tanah secara diam-diam. Mereka juga tahu bahwa gedung pemerintahan kerap menjadi pintu masuk bagi investor, militerisasi wilayah, atau konsesi tambang.
Contohnya tidak harus lokal: di Myanmar, kota Naypyidaw dibangun oleh rezim militer tanpa kehendak publik---hingga kini menjadi kota kosong. Di Chili, tanah Mapuche diambil paksa untuk pembangkit listrik. Di Kalimantan, warga Dayak yang dahulu dijanjikan partisipasi pembangunan IKN kini perlahan tersingkir.