Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gedung Bisa Berdiri, Tapi Apakah Akarnya Mengizinkan? (Hun flocky)

4 Juli 2025   13:15 Diperbarui: 4 Juli 2025   13:15 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi lapangan bola oleh pemuda lokal di Wara distrik Pisugi (Hun flocky )

Gedung Bisa Berdiri, Tapi Apakah Akarnya Mengizinkan?

Sebuah Analisis Kritis terhadap Pembangunan dan Penerimaan Masyarakat di Papua Pegunungan

Oleh: Hun flocky

Wara, Kamis, 3 Juli 2025

Di antara kabut pagi dan suara lembah yang tenang, ada satu wacana yang terus menggantung di antara warga: pembangunan kantor di Papua Pegunungan. Lokasinya disinyalir berada di antara distrik Pisugi, Libarek, dan Wita Waya---semua adalah tanah yang hidup, tempat leluhur menanam sejarah dan masyarakat mewarisi tanggung jawab.

Namun hingga kini, belum ada titik terang. Perdebatan justru semakin tajam, bukan karena masalah teknis lokasi, melainkan karena masyarakat mulai bertanya: apa yang sesungguhnya sedang dibangun? Gedung, atau kesepakatan? Pemerintahan, atau peminggiran baru?

Apakah masyarakat setempat benar-benar membutuhkan gedung itu?

Ataukah mereka sekadar dibutuhkan untuk memberi legitimasi?

Bahasa Negara dan Bahasa Lembah: Mengapa Tak Saling Dengarkan?

Pemerintah sering bicara soal "pelayanan publik", "penguatan otonomi", dan "simbol kehadiran negara". Tapi masyarakat tidak hidup dari simbol. Mereka hidup dari ladang, dari tatanan sosial klan, dan dari kesepakatan hati yang diwariskan turun-temurun.

Suku Hubula mengenal dua jenis hak atas tanah: hak warisan dan hak kuasa. Keduanya saling menghormati dan dijaga bukan oleh hukum negara, tapi oleh ingatan dan moral kolektif. Maka tanah bukan sekadar tapak, melainkan tubuh sosial yang tidak bisa dicabut tanpa luka.

Apa artinya pembangunan jika rakyat tidak merasa ikut memilikinya?

Strategi Atas Nama Negara, atau Skema Atas Nama Korporasi?

Warga lokal tidak buta. Mereka paham, banyak pembangunan di Papua selama ini berakhir menyisakan pengungsian, konflik, atau perubahan status tanah secara diam-diam. Mereka juga tahu bahwa gedung pemerintahan kerap menjadi pintu masuk bagi investor, militerisasi wilayah, atau konsesi tambang.

Contohnya tidak harus lokal: di Myanmar, kota Naypyidaw dibangun oleh rezim militer tanpa kehendak publik---hingga kini menjadi kota kosong. Di Chili, tanah Mapuche diambil paksa untuk pembangkit listrik. Di Kalimantan, warga Dayak yang dahulu dijanjikan partisipasi pembangunan IKN kini perlahan tersingkir.

Apakah sejarah ini akan berulang di lembah ini?

Apakah kantor gubernur sedang dibangun untuk rakyat, atau sekadar lewat atas nama rakyat?

Jika Masyarakat Bingung, Bukan Berarti Mereka Lemah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun