Kalau kita sedang menghadiri hajatan, membaca undangan, atau sekadar berbincang di warung kopi, kita sering mendengar nama-nama seperti "Pak Haji" atau "Bu Hajjah". Gelar ini begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Tapi, pernahkah kamu bertanya-tanya: dari mana sebenarnya asal usul gelar Haji itu di Indonesia? Dan kenapa penggunaannya begitu berbeda dibandingkan negara-negara Muslim lain?
Yuk, kita telusuri jejak sejarah dan budaya di balik gelar ini.
Gelar Haji di Indonesia pertama kali dikenal pada masa penjajahan Belanda. Waktu itu, pergi ke Tanah Suci bukanlah hal yang mudah. Selain butuh biaya besar dan waktu berbulan-bulan, para calon haji juga harus melewati pengawasan ketat dari pemerintah kolonial.
Karena itu, mereka yang berhasil pulang dari Mekah mendapat pengakuan luar biasa. Masyarakat menyambut dengan penuh hormat, dan mulailah nama mereka disertai gelar "Haji" atau "Hajjah" sebagai bentuk penghargaan --- semacam "medali spiritual" yang bisa dibanggakan.
Di Indonesia, menyandang gelar Haji bukan cuma soal ibadah. Gelar ini juga menjadi simbol bahwa seseorang:
Sudah mapan secara ekonomi (karena bisa membiayai perjalanan haji),
Disiplin dalam menjalankan ajaran Islam,
Sering dijadikan panutan dalam masyarakat.
Tak heran jika Pak Haji kerap diminta jadi imam salat, pemimpin doa, bahkan tempat bertanya urusan agama dan kehidupan sehari-hari.
Menariknya, di negara seperti Arab Saudi atau Mesir, orang yang sudah berhaji jarang menambahkan gelar "Haji" di depan namanya. Di sana, haji dianggap sebagai kewajiban pribadi, bukan sesuatu yang perlu diumumkan secara sosial.