Mohon tunggu...
Wawan Kuswandoro
Wawan Kuswandoro Mohon Tunggu... -

Pegiat Diskusi Publik "Wacana Kita", Peminat Politik Lokal, Rekayasa Politik & Human Factors

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikahsirri.com: Problem Pelembagaan Dalam Wacana Modernitas

1 Oktober 2017   16:38 Diperbarui: 2 Oktober 2017   07:45 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi nikahsirri.com ini diambil dari blog http://widiynews.com

Nah, di sinilah pentingnya ilmu sosial. Dan si teman kita yang super cerdas inovatif ini rupanya tak begitu cerdas ilmu sosial, sehingga "inovasi cerdasnya yang mendahului jamannya" itu menjadi blunder baginya... 

Lelang Perawan

Pemilik situs nikahsirri.com sebagai pencetus konsep "digital marketing berkonten aktivitas kultural keagamaan" atau "aktivitas kultural keagamaan yang disajikan secara digital marketing" , rupanya menganut pemikiran yang mendasarkan aktivitas sosial (termasuk pernikahan) sebagai aktivitas berlatar ekonomi, sebuah pandangan yang berbau Marxis dan terasa agak "kasar" walau tak sepenuhnya keliru. Faktanya, faktor ekonomi sering menjadi masalah dalam pernikahan atau dalam kehidupan rumahtangga (walaupun bukan satu-satunya sumber masalah).

Dan, melembagakan praktik sosial kultural (nikah sirri) dalam kerangka kerja institusional mekanis dengan piranti TI (nikahsirri.com) dengan mengikuti "kaidah, karakter dan cara kerja dunia pemasaran online", yang jika dinisbahkan pada jenis "layanan" tertentu apalagi "layanan relasi personal berlatar nilai keagamaan" bisa dirasakan atau dipersepsi sebagai tindakan yang kasar, "tidak bermoral" dan "tidak sesuai dengan nilai kepatutan sosial". Karakter pemasaran online inilah yang mempengaruhi layanan dan tampilan (fitur, menu) yang disuguhkan oleh situs nikahsirri.com agar mudah dilihat dan diminati orang. Aktivitas kultural semacam pernikahan (secara agama atau keyakinan atau adat) yang berisi aktivitas "mempertemukan dua mempelai", "membawa mahar (uang, harta, benda berharga) untuk mendapatkan perempuan" jika dilihat dari kacamata sinisme juga bisa dianggap sebagai "praktik jual-beli orang". Aktivitas kultural ini diterima dan dibenarkan. Akan tetapi jika aktivitas yang sama dilembagakan dengan suatu agensi, online, dalam website berkonsep digital marketing untuk mempermudah visitor untuk melihat, berkenalan, memahar ("membeli"?), nilai rasa-nya akan menjadi lain, dan pasti dituding sebagai praktik perdagangan manusia. Apalagi istilah "mahar" juga telah merambah dunia jual beli barang untuk menggantikan istilah "beli". Tak salah pula jika kemudian orang mempunyai pemahaman baru: 'mahar' sama dengan 'beli'.

Logika marketing pula-lah yang memunculkan istilah "lelang perawan". Pemilik ide berargumen logika digital marketing dalam memaknai istilah "lelang perawan", yang tentu sangat berbeda dengan penangkapan dan logika pembaca situs, apalagi publik yang hanya mendengar penggalan frasa "lelang perawan". Masing-masing memiliki logika dan argumen yang didasarkan pada pengalaman dan referensi hidup masing-masing. Saya jadi teringat "lelang masjid". Dulu saya sewot dan sensi juga melihat baliho besar di depan masjid di Batu (Jawa Timur) bertulisan "LELANG MASJID". Saya kira takmir masjid sudah gila akan melelang masjid. Ternyata tidak dilelang (dalam pengertian umum), tetapi "lelang" ini hanyalah suatu cara untuk menjaring penyumbang untuk masjid. Ada pula "LELANG PANTI ASUHAN", yang ternyata semacam aktivitas "fund raising". Kreatif. Dalam kasus nikahsirri.com, karena yang "di-lelang" adalah 'perawan', sedangkan kata 'perawan' sendiri di masyarakat telah memiliki makna 'status' yang membawa nilai-rasa tersendiri, maka bunyi iklan "lelang perawan" akan terasa sangat menohok. Dalam hal mencuri perhatian publik (logika marketing), lelang perawan ini telah berhasil. Pencetusnya kreatif juga.

Kreativitas orang yang terbiasa dengan pengalaman hidup serba logis, praktis, cepat, sebagaimana karakter dunia modern, akan cenderung memunculkan jenis kreativitas "liar" dari hasil berpikir cepat dan praktis, kadang mekanis tersebut, dan juga kadang melupakan kaidah dan nilai-nilai sosial. Ini yang sedang melanda pemilik situs. Sebuah cara pikir yang tidak nyambung dengan cara pikir orang kebanyakan. Publik pun tidak siap dengan suguhan karya "mekanis tanpa rasa moral" yang dipersepsinya dalam situs nikahsirri.com. Padahal praktik nikah sirri juga telah mereka ketahui dan dikenal di masyarakat.

Ada atau tidak ada situs nikahsirri.com, praktik nikah sirri tetap berjalan. Pemblokiran situs nikahsirri.com dibangun di atas logika dan argumen yang sebangun dengan pembubaran lokalisasi Dolly di Surabaya beberapa waktu yang lalu. Pembubaran tersebut lebih bernuansa "meredam gejolak publik", "mengikut arus utama pendapat publik", dan tentu saja tidak meniadakan praktik prostitusi, bahkan sebagian kalangan berpendapat, semakin meliarkan praktik prostitusi hingga masuk ke desa-desa dan praktik prostitusi online. (penjelasan ini tidak bermaksud menyejajarkan objek 'nikah sirri' dengan 'prostitusi' lho ya.. hanya pembandingan argumen yang melatari sebuah aksi, bukan objeknya...).

Bangunan argumen dan pemikiran yang "Jaka Sembung naik ojek" alias "ndak nyambung jek.." inilah yang memicu silang pendapat yang menghebohkan itu. Maka, dari perspektif entrepreneurship, pengelola situs nikahsirri.com sedang mempraktikkan social entrepreneur yang gagal. Karena aktivitas bisnis (entrepreneurship) yang dibangun di atas praktik sosial, tidak benar-benar menggunakan track sosial.

Jika saja AW, sang pemilik ide dan konsep yang melembagakan praktik sosial kultural (baca: nikah sirri) ini tetap pada koridor nilai kepatutan sosial, mungkin tak menuai kehebohan massal seperti ini.

"Dosa" utama AW adalah mengemas konten nilai keagamaan yang cukup sensitif (nikah sirri) secara zakelijk dengan karakter digital marketing tanpa mengindahkan nilai-nilai sosial kultural (yang di dalamnya terdapat nilai keagamaan) dalam aktivitas marketingnya. Dalam dunia digital marketing, penggunaan kata sesingkat-singkatnya untuk memberi makna semaksimal mungkin, adalah sebuah keharusan. Kata yang singkat namun bermakna kuat dan mampu merebut perhatian publik.

Juga penggunaan konten bergambar dan video adalah "menu wajib" bagi para pemasar online untuk mempermudah pemahaman pengunjung situs, apalagi dilengkapi dengan fitur-fitur atau menu yang mempermudah dan mendukung "call to action" bagi visitor. Berhubung "jasa" yang ditawarkan adalah sejenis aktivitas yang dapat dipersepsi dekat dengan urusan yang sensitif, tak heran jika menuai protes banyak kalangan, walaupun, di sisi lain, situs nikahsirri.com menurut beberapa pengamat, telah mendapatkan peminat (disebut "mitra" dan "klien") sebanyak 2.700 hingga 5.300 orang dalam waktu 5 hari. Sebuah angka peminatan yang cukup berarti, sesuatu bingits, peminatan terhadap aktivitas nikah sirri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun