Mohon tunggu...
Erfen Gustiawan Suwangto
Erfen Gustiawan Suwangto Mohon Tunggu... -

Tenaga medis, staf pengajar hukum kedokteran, aktivis medis

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Noda Pendidikan Korps Jas Putih

7 April 2012   01:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:56 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap tulisan seorang sejawat dokter tentang peristiwa penghinaan dan tindakan tidak menyenangkan yang dialami istrinya semasa pendidikan dokter spesialis. Beliau menuliskan hal tersebut di beberapa jejaring sosial dan blog, serta sudah membawa kasus ini ke ranah hukum. Hal ini tentu mencengangkan sebagian masyarakat awam. Oleh karena dokter yang dianggap berprofesi mulia, melakukan tindakan yang tidak mencerminkan keluhuran profesinya. Sudah menjadi rahasia umum dalam dunia kedokteran Indonesia, bahwa terdapat unsur feodalisme yang sangat kuat semasa pendidikan dokter. Feodalisme yang sama sekali sudah ketinggalan zaman dan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Dosen kedokteran memiliki kuasa untuk menguasai nasib anak didiknya. Suatu kuasa yang sering disalahgunakan untuk menerima sanak famili dan teman sendiri untuk masuk dalam fakultas kedokteran dengan mengabaikan kualitas, terutama dalam pendidikan dokter spesialis. Padahal dilayani oleh dokter berkualitas, adalah hak rakyat Indonesia yang dijamin undang-undang. Apalagi pendidikan dokter spesialis di Indonesia, baru diizinkan untuk dilakukan Fakultas Kedokteran Negeri. Bayangkan, universitas negeri yang dibiayai oleh pajak rakyat, digunakan sewenang-wenang oleh oknum dosen kedokteran di situ untuk mendirikan "kerajaan" keluarganya sendiri. Tentu ini adalah penyalahgunaan wewenang. Faktanya bahwa awalnya yang merintis pendidikan spesialisasi di Fakultas Kedokteran Negeri, terdiri dari dokter- dokter Belanda, etnis Tionghoa, beserta pribumi. Jadi betapa tidak malu dan tidak tau balas budinya jika sekarang spesialisasi hanya dikuasai kalangan tertentu. Tak heran jika sering yang tembus masuk dalam pendidikan dokter spesialis, justru lulusan dokter umum yang tidak berkualitas. Dengan bermodalkan "darah biru", harta, kedudukan, hubungan pertemanan, serta persamaan SARA, maka seseorang dapat lulus menjadi seorang dokter spesialis di Indonesia. Ya! persamaan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) juga berperan besar. Sehingga terjadi diskriminasi berlapis dalam seleksi penerimaan mahasiswa kedokteran. Bisa saja sama agama, harta, dan kedudukannya, tetapi berlainan suku saja bisa membawa masalah. Lucunya, oknum-oknum dokter spesialis tersebut bangga akan hal itu karena berpikir sudah menjadi strata atas dalam dunia kedokteran. Padahal banyak juga dokter yang tidak mau melanjutkan spesialisasi akibat melihat ketidakberesan seperti itu. Apalagi pamor profesi dokter semakin menurun. Banyak dokter umum yang menjalankan profesinya hanya untuk hobi dan panggilan, tetapi merambah ke bidang lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Memang tidak semuanya seperti ini, tetapi fakta di lapangan menunjukkan jumlah yang tidak sedikit. Bayangkan saja, bagaimana dunia kedokteran Indonesia tidak bobrok jika inputnya saja sudah seperti ini? Dan rata-rata menutup mata karena takut atau ada dalam zona nyaman!!


Penderitaan belum sampai di situ, seorang mahasiswa kedokteran bisa saja ditekan semasa pendidikan jika tidak berkenan di hadapan dosennya. Anehnya, seorang mahasiswa kedokteran terkadang ditekan akibat diskriminasi SARA atau akibat tidak bisa "menjilat" dosennya. Apalagi yang kepintarannya menonjol dan menentang semua ketidakberesan sistem yang ada sehingga dosennya merasa tersaingi. Padahal seorang dosen harus menilai secara objektif dan rela jika anak didiknya lebih maju. Seorang pendidik bahkan harus membantu anak didik yang bermasalah, apalagi jika sebenarnya anak didik tersebut cerdas dan berkualitas.


Sungguh profesi dokter dekat dengan surga, tetapi dekat juga dengan neraka. Jika semasa pendidikan saja sudah dipenuhi diskriminasi, hinaan, cercaan, serta ditarik bayaran mahal, maka tidak heran jika setelah lulus juga menjadi dokter penghisap darah pasiennya. Tidak heran banyak dokter yang kasar dan tidak berhati nurani. Sungguh ini permasalahan pelik yang harus segera dicarikan solusinya. Jika tidak, dokter-dokter Indonesia sedang membunuh profesinya sendiri. Oleh karena kalangan menengah saja sekarang memilih berobat ke luar negeri dengan harga berobat lebih murah, tetapi lebih berkualitas. Dan kami dokter umum swasta, tak ambil pusing karena kami juga ikut merujuk pasien ke dokter-dokter spesialis luar negeri jika perlu. Karena kami juga tidak mau lagi melihat pasien menangis akibat dilayani oknum dokter spesialis negeri sendiri yang tidak berhati nurani.


Kepada sejawat dokter yang pernah mengalami tindakan penghinaan, diskriminasi SARA, atau perlakuan tidak adil lainnya akibat feodalisme semasa pendidikan dokter, silakan mengirimkan ceritanya ke erfen_gs@yahoo.co.id untuk dibuat sebuah buku putih. Pakailah nama samaran, tetapi terbukalah jika pihak berwajib ingin mengungkap kasus tersebut ke pengadilan. Jika bukan kita, siapa lagi yang bertanggungjawab terhadap kemajuan dunia medis Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun