Mohon tunggu...
Humaniora

Nasionalisme Kejawen: Dahulu dan Sekarang

19 September 2017   20:07 Diperbarui: 20 September 2017   09:56 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melanjutkan tulisan saya di Kompas hampir dua bulan lalu, kali ini saya ingin berbagi tentang aliran ideologis yang cukup familiar di lingkungan keluarga saya, tapi baru belakangan saya tertarik untuk menelusuri keberadaannya secara historis : nasionalisme aliran Jawa atau Kejawen. 

Sumber literatur yang membahas tentang ini dengan cukup rinci adalah karya Hans van Miert "Dengan Semangat Berkobar : Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930" dan karya M.C Ricklefs, "Polarising Javanese Society : Islamic and Other Vision c. 1830-1930". Aliran ini diwakili oleh dua organisasi yaitu 'Jong Java' (1918) dan 'Comite voor het Javaansch Nationalisme' (1917), dimana keduanya memiliki afiliasi erat dengan Budi Utomo, organisasi kaum priyayi modern yang dianggap sebagai awal nasionalisme Indonesia. 

Sebagai gerakan kebudayaan dan sosial-politik, keberadaannya berumur relatif singkat tetapi pengaruh dari gagasan-gagasannya tetap signifikan dalam arus utama nasionalisme Indonesia meski hanya 'di balik layar'. Dalam pengamatan saya, terdapat dua periode dimana nasionalisme Kejawen nyaris memiliki harapan akan kebangkitan kembali (revival), pertama pada paruh pertama periode Orde Baru (awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an) dan kedua adalah dalam masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terutama dalam kemunculan gagasan 'Islam Nusantara' yang jelas kontra terhadap Islamisme arus utama dan mendukung keterbukaan terhadap agama dan kebudayaan 'asli Indonesia', termasuk Kejawen.

Nasionalisme Jawa versus Nasionalisme 'Melayu'

Dalam tulisannya tentang asal mula nasionalisme Indonesia, Hans van Miert menyebut dua varian dari nasionalisme etnosentris yang menjadi pendahulunya : nasionalisme Jawa dan nasionalisme Sumatra-Melayu. Meskipun keduanya tidak terlepas dari kebijakan etis dan asosiatif pemerintah kolonial, dalam perkembangannya keduanya berkembang menuju karakteristik ideologis yang berbeda bahkan cenderung antagonistik. Kaum nasionalis Jawa cenderung mengidealkan tatanan peradaban Jawa-India pra-kolonial khususnya periode imperium Majapahit dan awal Mataram Islam. Karena terpengaruh secara mendalam oleh filosofi India, kaum priyayi nasionalis Jawa pada umumnya menganggap masyarakat secara alamiah bersifat hirarkis dan konsentris -- seperti lingkaran-lingkaran 'mandala' -- dan tatanan hirarkis ('kasta') ini merupakan suatu kesatuan organik yang saling menopang dan melengkapi. Meskipun mendukung penstrukturan masyarakat yang tidak egaliter, doktrin politik mereka mensyaratkan kepemimpinan dengan kualifikasi moral dan spiritual yang tinggi dimana raja atau pemimpin politik juga dianggap sebagai 'pandita' atau guru kebijaksanaan yang mengayomi segenap rakyatnya.

Model kepemimpinan tradisionalis dan feodalistik seperti diidealkan kaum nasionalis Jawa ini ditolak oleh kaum nasionalis berlatar belakang kebudayaan Melayu-Minangkabau disamping orang-orang Jawa sendiri yang lebih terpengaruh oleh pemikiran Eropa. Di kalangan angkatan muda terpelajar di Minangkabau pada waktu itu mulai muncul pemikiran modernis dan bersikap kritis terhadap kepemimpinan adat dan tradisionalisme -- yang dalam lingkup etnis Minang bersifat matriarkat -- di masyarakat. Etos baru ini meskipun terinspirasi Westernisme, tetapi juga terlihat jelas dipengaruhi oleh gerakan purifikasi keagamaan Islam baru pada awal abad keduapuluh. Meskipun spektrum politik di kalangan muda Minangkabau cukup bervariasi dari Marxisme hingga reformisme Islam, mereka mendukung pendekatan legal-rasionalis terhadap wacana politik. Salah satu episode dalam sejarah intelektual dan kebudayaan yang mencerminkan pertentangan tersebut adalah 'polemik budaya' awal tahun 1930-an antara kelompok Pujangga Baru dibawah kepeloporan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang mendukung pembaratan sebgai solusi kemajuan dengan kubu Sanusi Pane yang mendukung revitalisasi nilai-nilai peradaban Timur pra-kolonial. Dalam sejarah kubu Pujangga Baru memang dikenal dekat dengan aliran sosialisme demokratis Sutan Sjahrir dan menjadi pionir dari humanisme universal para seniman Manikebu di tahun 1960-an. Sementara Sanusi Pane bisa dikatakan merupakan representasi sastrawan nasionalisme Indonesia yang dipengaruhi unsur Kejawen -- khususnya pemikiran Ki Hajar Dewantara dan organisasi Taman Siswa yang belakangan dimunculkan kembali oleh Sukarno melalui konsepsinya akan demokrasi terpimpin.

Nasionalisme Kejawen sebagai Anti-Islamisme

Salah satu karakteristik paling kuat dari nasionalisme Jawa adalah anti-Islamismenya. Salah satu kasus 'penistaan' agama pertama yang tercatat dalam sejarah, kasus tulisan dalam majalah Djawi Hisworo pada terbitan Januari 1918 -- yang memuat penggambaran Nabi Muhammad sebagai penghisap candu -- agaknya merupakan ekses dari menguatnya sentimen nasionalis Jawa melalui gerakan revivalisme budaya Jawa. Sebagai kelompok yang mengidealkan tatanan peradaban India-Jawa dari zaman Majapahit, kaum Kejawen menganggap masa setelah kedatangan Islam di Jawa sebagai periode kemunduran. 

Meskipun agama Islam yang dikembangkan di kalangan kraton Jawa (Mataram) merupakan versi sinkretis yang lebih merupakan asimilasi ajaran Islam ke dalam tradisi Hindu-Jawa yang lebih tua, selalu terdapat ketegangan kultural dan politis antara penguasa Mataram dengan daerah-daerah taklukan di pesisir yang sebagian besar menganut ajaran Islam yang lebih murni. Beberapa pemberontakan dan konflik internal di Mataram seringkali melibatkan kekuatan Islam sebagai oposan -- seperti perlawanan Raden Trunojoyo dari Madura pada akhir abad ke-17 yang beraliasi dengan panembahan Kajoran dan penguasa Giri Kedaton di Gresik. Demikian pula dalam Perang Jawa (1825-1830), Diponegoro menjalin aliansi dengan kalangan ulama dan mengklaim kekuasaan sebagai 'khalifah' model Turki Ottoman untuk menyatukan kembali Jawa yang telah dipecah belah oleh kolonialis Belanda

Meski telah berlangsung antagonisme Islam dan Kejawen dalam kurun waktu lama, terdapat indikasi kuat bahwa gagasan tentang revivalisme kebudayaan Jawa pra-kolonial sedikit banyak bersumber dari kalangan orientalis Eropa. Dimulai dengan Raffles dengan proyek sejarah Jawa kunonya, imaji tentang kegemilangan Jawa sebelum Islam terus direproduksi oleh wacana keilmuan kolonial. Berbagai proyek 'Javanologi' yang disponsori para sarjana Eropa kemudian mulai melibatkan kalangan priyayi berpendidikan tinggi dan hal tersebut menjadi prakondisi dari munculnya nasionalisme Kejawen di tahun 1910-an dan awal 1920-an. Sementara kalangan aristokrasi Jawa melihat kebijakan asosiatif dalam rangka politik Etis kolonial sebagai sebuah kesempatan emas bagi emansipasi sosio-kultural dari peradaban Jawa, kelompok ini makin melihat kebangkitan politik Islam dengan kecurigaan -- bukan saja karena ia dianggap unsur 'asing' tetapi juga karena watak egaliter dari gerakan Islam sebagai ancaman langsung bagi tatanan feodal-tradisional dari kebangsawanan Jawa itu sendiri.     

Sementara nasionalis Kejawen mengembangkan sikap berlawanan dengan kaum Islamis, mereka memiliki sikap yang cenderung lebih bersahabat dengan kalangan Kristen, termasuk Katolik. Sejak abad ke-19, telah berkembang suatu varian 'Kristen Jawa' yang memiliki akar kuat di kalangan Kejawen. Demikian juga dengan berbagai perkumpulan 'kebatinan' Barat khususnya Perhimpunan Teosofi serta Vrijmetselarij (Freemasonry). Mungkin sekali karena semangat 'orientalis' dari para intelektual dan misionaris Eropa yang menampilkan doktrin Kristiani maupun spiritualitas Barat dalam bingkai pemahaman yang lebih lokal dan ketimuran membuat mereka lebih mudah diterima. Aliansi kaum Kejawen dengan kalangan aktivis atau intelektual Kristen ini terus berlanjut dan menampakkan diri pada masa awal pembentukan Orde Baru, dan hal ini terlihat dari kebijakan depolitisasi terhadap kalangan Islamis dan represi terhadap oposisi Islam selama tahun 1970-an hingga memuncak dalam peristiwa Tanjung Priok (September 1984). Dalam periode tersebut beberapa kelompok think-tank atau pengambil kebijakan di belakang layar seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies) terbukti melibatkan kalangan aktivis Kristen dan Katolik-Jesuit, disamping kalangan Kejawen.

Nasionalisme Jawa tidak sejalan dengan Marxisme

Meskipun tidak menyatakan diri sebagai anti-komunis, kalangan Kejawen dalam barisan nasionalis pada kenyataanya banyak tidak sejalan dengan kaum Marxis ataupun komunis. Hal ini sudah berlangsung sejak masa pergerakan khususnya pada tahun-tahun Perang Dunia pertama dimana pemerintahan Etis kolonial menggagas dibentuknya Parlemen (Volksraad), sehingga memecah kaum pergerakan antara mereka yang berhaluan asosiatif (kooperatif) dan radikal (non-kooperatif). Sebagian besar nasionalis Jawa bersama kaum teosof Belanda berada di pihak pertama, sementara kaum Marxis berada pada kubu kedua. Pada dasarnya, pandangan akan masyarakat egaliter -- baik dalam bentuk kolektivis maupun individualisme liberalis -- selalu berlawanan dengan visi kaum Kejawen akan masyarakat yang bersifat organis dan lebih dekat dengan konsepsi 'warna' atau 'kasta' di India. (Catatan tambahan, perlu diketahui bahwa agama 'Timur' seperti di India atau Asia Timur memiliki karakter yang lebih non-egalitarian dalam ajaran tentang hubungan sosial, akan tetapi lebih toleran atau 'demokratis' dalam konsep teologis dimana mereka meyakini konsep ketuhanan abstrak -- dengan manifestasi yang bersifat jamak -- alih-alih Tuhan personal. Sementara dalam agama Semitik yang meyakini Tuhan personal cenderung lebih 'otoritarian' secara teologis, namun hal ini juga mengimplikasikan pandangan kesetaraan manusia dibawah kemutlakan kuasa Tuhan. Ini menyebabkan gagasan sosialis lebih mudah berkembang di kalangan yang terpengaruh agama Semitik meski ideologi itu juga mengkritik ekses agama-agama dalam hal tertentu).

Pertentangan kaum nasionalis Kejawen dengan golongan kiri ini dapat menjelakan ambivalensi posisi kelompok ini terhadap rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno. Secara umum kaum priyayi dan birokrat merupakan konstituen utama PNI, partai nasionalis bentukan Sukarno, dan konsepsi demokrasi terpimpin -- atau penekanan pada mufakat (konsensus) dan kepemimpinan yang dijiwai 'hikmat kebijaksaaan' dalam demokrasi --- itu sendiri merupakan derivasi dari konsepsi kaum nasionalis Jawa. Akan tetapi perubahan haluan ideologis Sukarno yang lebih bergeser ke kiri setelah kampanye Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia kemudian membawa perpecahan dalam PNI. Sebagian dari pimpinan PNI yang terpengaruh oleh haluan kiri -- faksi Ali Sastroamidjojo dan Surachman atau 'PNI A-Su" -- memang kemudian ikut mengalami pembersihan dan represi seiring peristiwa 1965-66 dan kemunculan Orde Baru, akan tetapi kelompok lainnya yang mengikuti ideologi PNI sayap 'priyayi' atau 'Kejawen' antara lain dipimpin oleh Hadisubeno dan kawan-kawan kemudian lebih cenderung merapat pada Orde Baru Suharto. Walaupun memang terdapat kecenderungan umum bahwa Sukarnoisme ditindas oleh rezim Orde Baru, tetapi pengaruh adanya faktor antagonisme ideologi Kejawen (atau Hindu-Jawa) dengan komunis juga tidak dapat diabaikan. Mungkinkah ini menjelaskan bahwa di Bali, pulau yang menjadi pusat kaum nasionalis (PNI) dengan latar belakang Hindu, justru massa PNI-lah yang paling banyak mendukung pembantaian terhadap golongan kiri ? Kita tidak dapat memberi jawaban pasti (mungkin bisa diklarifikasi dari buku karya Geoffrey Robinson "The Dark Side of Paradise" yg terjemahannya sudah mulai langka di pasaran).

Dengan demikian kaum Kejawen pada dasarnya adalah orang-orang yang mendukung aspek kolektivis dari ideologi Sukarnois -- yang terwujud dalam konsepsi 'Demokrasi Terpimpin' -- tetapi kurang sejalan dengan aspek yang lebih sosialis dan egalitarian dari nasionalisme Sukarno. Itulah mengapa dalam beberapa hal, kalangan ini menganggap Orde Baru Suharto sebagai penerus Sukarno setidaknya dalam memperkuat ideologi negara Pancasila dan tafsirannya yang lebih dekat dengan visi dan filosofi Jawa. Selama periode transisi menuju Orde Baru dan awal rezim tersebut, kaum Kejawen agaknya menjalin aliansi longgar dengan kaum Kristen/Katolik yang lebih aktif dalam aksi pembasmian komunis, maupun dalam menghadapi kemungkinan bangkitnya Islamisme pasca keruntuhan rezim Sukarno. Jadi dengan penjelasan di atas apakah mengherankan apabila pada masa sekarang presiden Jokowi dengan cukup santai menyatakan bahwa semua organisasi yang 'anti-Pancasila' sekalipun itu PKI yang muncul, akan di'gebug' ? Silahkan direnungkan dan dijawab sendiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun