Mohon tunggu...
Humaniora

Nasionalisme Kejawen: Dahulu dan Sekarang

19 September 2017   20:07 Diperbarui: 20 September 2017   09:56 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisme Jawa tidak sejalan dengan Marxisme

Meskipun tidak menyatakan diri sebagai anti-komunis, kalangan Kejawen dalam barisan nasionalis pada kenyataanya banyak tidak sejalan dengan kaum Marxis ataupun komunis. Hal ini sudah berlangsung sejak masa pergerakan khususnya pada tahun-tahun Perang Dunia pertama dimana pemerintahan Etis kolonial menggagas dibentuknya Parlemen (Volksraad), sehingga memecah kaum pergerakan antara mereka yang berhaluan asosiatif (kooperatif) dan radikal (non-kooperatif). Sebagian besar nasionalis Jawa bersama kaum teosof Belanda berada di pihak pertama, sementara kaum Marxis berada pada kubu kedua. Pada dasarnya, pandangan akan masyarakat egaliter -- baik dalam bentuk kolektivis maupun individualisme liberalis -- selalu berlawanan dengan visi kaum Kejawen akan masyarakat yang bersifat organis dan lebih dekat dengan konsepsi 'warna' atau 'kasta' di India. (Catatan tambahan, perlu diketahui bahwa agama 'Timur' seperti di India atau Asia Timur memiliki karakter yang lebih non-egalitarian dalam ajaran tentang hubungan sosial, akan tetapi lebih toleran atau 'demokratis' dalam konsep teologis dimana mereka meyakini konsep ketuhanan abstrak -- dengan manifestasi yang bersifat jamak -- alih-alih Tuhan personal. Sementara dalam agama Semitik yang meyakini Tuhan personal cenderung lebih 'otoritarian' secara teologis, namun hal ini juga mengimplikasikan pandangan kesetaraan manusia dibawah kemutlakan kuasa Tuhan. Ini menyebabkan gagasan sosialis lebih mudah berkembang di kalangan yang terpengaruh agama Semitik meski ideologi itu juga mengkritik ekses agama-agama dalam hal tertentu).

Pertentangan kaum nasionalis Kejawen dengan golongan kiri ini dapat menjelakan ambivalensi posisi kelompok ini terhadap rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno. Secara umum kaum priyayi dan birokrat merupakan konstituen utama PNI, partai nasionalis bentukan Sukarno, dan konsepsi demokrasi terpimpin -- atau penekanan pada mufakat (konsensus) dan kepemimpinan yang dijiwai 'hikmat kebijaksaaan' dalam demokrasi --- itu sendiri merupakan derivasi dari konsepsi kaum nasionalis Jawa. Akan tetapi perubahan haluan ideologis Sukarno yang lebih bergeser ke kiri setelah kampanye Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia kemudian membawa perpecahan dalam PNI. Sebagian dari pimpinan PNI yang terpengaruh oleh haluan kiri -- faksi Ali Sastroamidjojo dan Surachman atau 'PNI A-Su" -- memang kemudian ikut mengalami pembersihan dan represi seiring peristiwa 1965-66 dan kemunculan Orde Baru, akan tetapi kelompok lainnya yang mengikuti ideologi PNI sayap 'priyayi' atau 'Kejawen' antara lain dipimpin oleh Hadisubeno dan kawan-kawan kemudian lebih cenderung merapat pada Orde Baru Suharto. Walaupun memang terdapat kecenderungan umum bahwa Sukarnoisme ditindas oleh rezim Orde Baru, tetapi pengaruh adanya faktor antagonisme ideologi Kejawen (atau Hindu-Jawa) dengan komunis juga tidak dapat diabaikan. Mungkinkah ini menjelaskan bahwa di Bali, pulau yang menjadi pusat kaum nasionalis (PNI) dengan latar belakang Hindu, justru massa PNI-lah yang paling banyak mendukung pembantaian terhadap golongan kiri ? Kita tidak dapat memberi jawaban pasti (mungkin bisa diklarifikasi dari buku karya Geoffrey Robinson "The Dark Side of Paradise" yg terjemahannya sudah mulai langka di pasaran).

Dengan demikian kaum Kejawen pada dasarnya adalah orang-orang yang mendukung aspek kolektivis dari ideologi Sukarnois -- yang terwujud dalam konsepsi 'Demokrasi Terpimpin' -- tetapi kurang sejalan dengan aspek yang lebih sosialis dan egalitarian dari nasionalisme Sukarno. Itulah mengapa dalam beberapa hal, kalangan ini menganggap Orde Baru Suharto sebagai penerus Sukarno setidaknya dalam memperkuat ideologi negara Pancasila dan tafsirannya yang lebih dekat dengan visi dan filosofi Jawa. Selama periode transisi menuju Orde Baru dan awal rezim tersebut, kaum Kejawen agaknya menjalin aliansi longgar dengan kaum Kristen/Katolik yang lebih aktif dalam aksi pembasmian komunis, maupun dalam menghadapi kemungkinan bangkitnya Islamisme pasca keruntuhan rezim Sukarno. Jadi dengan penjelasan di atas apakah mengherankan apabila pada masa sekarang presiden Jokowi dengan cukup santai menyatakan bahwa semua organisasi yang 'anti-Pancasila' sekalipun itu PKI yang muncul, akan di'gebug' ? Silahkan direnungkan dan dijawab sendiri.  


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun