Mohon tunggu...
Assyifa Qolbu Ardi Waluyo
Assyifa Qolbu Ardi Waluyo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Assyifa Qolbu Ardi Waluyo merupakan mahasiswa baru universitas negeri yogyakarta, Program Studi Pendidikan Teknik Informatika

Selanjutnya

Tutup

Bola

Ketika Mimpi Tertunda: Refleksi Kegagalan Lolos ke Piala Dunia

13 Oktober 2025   09:32 Diperbarui: 13 Oktober 2025   09:32 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalah Tipis 0-1 VS Irak, Timnas Indonesia Goodbye Piala Dunia 2026-Istimewa/Bengkuluekspress.- 

Berita kegagalan Tim Nasional Indonesia untuk lolos ke Piala Dunia kembali menarik perhatian publik. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, hasil ini membawa kekecewaan karena harapan untuk melihat bendera Merah Putih berkibar di panggung sepak bola terbesar dunia harus kembali tertunda. Namun, di balik kekecewaan itu, tersimpan pelajaran berharga tentang arti perjuangan, sportivitas, persatuan, dan nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjalanan panjang Indonesia dalam babak kualifikasi memperlihatkan semangat juang yang luar biasa. Para pemain berjuang sekuat tenaga demi mengharumkan nama bangsa, bahkan ketika harus menghadapi lawan yang jauh lebih kuat. Setiap pertandingan menjadi bukti tekad mereka untuk tidak menyerah, meskipun peluang tampak kecil. Sikap pantang menyerah ini mencerminkan sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Usaha keras harus senantiasa diiringi dengan doa dan keyakinan bahwa hasil akhir adalah kehendak Tuhan. Dalam konteks kehidupan berbangsa, nilai spiritual ini mengajarkan bahwa keberhasilan sejati hanya dapat dicapai melalui kerja keras yang jujur dan keikhlasan dalam berdoa.

Kegagalan Indonesia juga menegaskan pentingnya sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab." Sepak bola tidak hanya mengajarkan bagaimana meraih kemenangan, tetapi juga bagaimana menerima kekalahan dengan lapang dada. Para pemain dan pelatih menunjukkan sikap profesional dengan menghormati lawan, wasit, dan para pendukung dari negara lain. Mereka menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan dan etika harus dijunjung tinggi, bahkan di tengah tekanan besar. Hal ini menjadi teladan bagi masyarakat luas bahwa dalam kehidupan sosial, kita harus saling menghargai dan berperilaku beradab, baik dalam kemenangan maupun kekalahan.

Sementara itu, semangat para suporter Indonesia menggambarkan kuatnya sila ketiga, "Persatuan Indonesia." Ribuan suporter di stadion dan jutaan lainnya di rumah menunjukkan dukungan tanpa henti. Dalam momen-momen itu, sekat perbedaan suku, agama, bahasa, dan daerah menghilang. Semua bersatu dalam satu semangat: cinta kepada Tanah Air. Sepak bola, dalam hal ini, menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat rasa nasionalisme dan mempererat tali persaudaraan antarwarga bangsa.

Namun, kegagalan ini juga menjadi cermin untuk introspeksi. Sejalan dengan sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," masyarakat dan para pemangku kepentingan harus bersama-sama mencari solusi dan melakukan perbaikan. Dunia sepak bola Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan seperti manajemen yang belum profesional, pembinaan usia dini yang belum merata, serta keterbatasan fasilitas di banyak daerah. Diperlukan musyawarah dan kerja sama antara federasi, pelatih, pemain, serta pemerintah untuk memajukan sepak bola nasional. Dengan semangat demokrasi dan kebijaksanaan, perbaikan yang berkelanjutan dapat diwujudkan demi kemajuan olahraga Tanah Air.

Selain itu, sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," juga patut mendapat perhatian serius. Pengembangan sepak bola tidak boleh hanya berpusat di kota-kota besar, melainkan harus memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anak berbakat dari pelosok negeri. Pemerataan akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan fasilitas olahraga menjadi kunci untuk menciptakan keadilan sosial di bidang olahraga. Dengan memberikan peluang yang setara bagi semua, maka akan lahir generasi emas yang mampu membawa Indonesia menuju kejayaan di masa depan.

Kegagalan Indonesia untuk lolos ke Piala Dunia memang menyakitkan, tetapi tidak boleh memadamkan semangat untuk bermimpi. Justru dari kegagalan inilah muncul kesempatan untuk belajar, berbenah, dan tumbuh menjadi lebih baik. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan bahwa setiap kegagalan adalah langkah menuju keberhasilan, selama kita mau bekerja keras dan tetap bersatu.

Sepak bola bukan sekadar soal menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana bangsa ini belajar menjadi lebih kuat, lebih beradab, dan lebih bersatu dalam setiap langkahnya. Dari lapangan hijau, kita belajar menghargai kerja keras, menjunjung sportivitas, dan menyalakan kembali api nasionalisme. Walaupun Indonesia belum berhasil menembus Piala Dunia, semangat juang dan cinta terhadap Tanah Air tidak pernah padam. Selama semangat itu terus hidup di dada setiap anak bangsa, impian melihat Indonesia berlaga di panggung dunia suatu hari nanti akan menjadi kenyataan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun