Mohon tunggu...
Walneg Jas
Walneg Jas Mohon Tunggu... -

Managing Director PT. Tiga Positif Paradigma dan senang menulis serta memperhatikan tingkah laku manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Koalisi Ideal Pilpres 2014

10 April 2014   15:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil hitung cepat (quick count) Pemilu Legislatif 2014 sudah dipublikasikan oleh berbagai lembaga survey yang terpercaya.  Jika diambil nilai rata-rata (plus/minus) dari semua lembaga, maka PDIP telah keluar sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara sekitar 20%, disusul masing-masing Golkar (15%), Gerindra (12.5%), Demokrat (10%), PKB (9%), PAN (7.5%), PKS (7%), Nasdem (7%), Hanura (5.5%), PBB (1.5%) dan PKPI (1%).

Apa makna yang terefleksi dari angka perolehan tersebut?.  Setidaknya ada tiga pesan utama yang dapat kita tangkap; Pertama, masyarakat sudah semakin cerdas dalam menentukan pilihan sesuai pertimbangan logis dan realistis.  Hal ini ditunjukkan oleh keberagaman pilihan dan penyebaran sikap politik masyarakat yang semakin terdistribusi merata dan tidak terkonsentrasi pada satu partai karena alasan emosional misalnya mengikuti trend atau terkesima oleh popularitas tokoh partai.  Kedua, perolehan ini juga menunjukkan rasa ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat terhadap partai besar dan partai penguasa yang selama ini tidak kunjung memberikan solusi konkrit bagi kesejahteraan rakyat, bahkan malah berbuat sebaliknya.  Sebagian masyarakat mulai kapok dengan partai besar sehingga memilih untuk mencari alternatif baru yang mengusung semangat perubahan atau kembali kepada nilai-nilai ideologis tradisional yang dimilikinya dengan memberikan mandat kepada partai tengah seperti PKB, PAN dan PPP yang suaranya meningkat signifikan.  Ketiga, ini yang perlu diperhitungkan juga bahwa sebagian masyarakat belum terlalu yakin dengan sosok calon-calon presiden  yang saat ini dimunculkan, dan mencoba mencari dan berharap hadirnya calon-calon alternatif penyeimbang yang tidak kalah bobot dan kapasitasnya dengan memilih partai lain yang belum memperjelas siapa calon presiden definitifnya.  Alasan terhadap hipotesa ini sangat sederhana, jika sebagian besar masyarakat sudah sangat yakin dengan Jokowi, Ical ataupun Prabowo maka pastilah partainya menang mutlak misalnya di atas 30%.

Akibat perolehan suara yang terdistribusi merata dan tidak menonjol untuk satu partai, maka tidak ada pilihan lain bagi setiap partai kecuali untuk membentuk koalisi yang pas dalam menghadapi PILPRES pada bulan Juli mendatang.  Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana postur koalisi yang ideal untuk menghadapi kontestasi PILPRES dua bulan lagi?.  Jika berpegang pada basis analisis di atas, maka masyarakat membutuhkan tawaran koalisi yang solid dan mampu menjawab kekhawatiran-kekhawatiran besar yang ada di benaknya.  Jangan ada lagi koalisi populis yang hanya terkonsentrasi pada satu nama capres.  Pengalaman bangsa ini menunjukkan bahwa eforia yang berlebihan dan emosional terhadap satu tokoh selalu berakhir dengan kekecewaan.  Ketika rezim Orde Baru sedang naik daun, Soeharto sangat dipuja dan dielukan tapi berakhir dengan kebencian dan kekecewaan masyarakat yang massif.  Demikian juga ketika Gus Dur ditampilkan dalam gerakan asal bukan Mega pada pilpres 1999, itu pun berakhir dengan pemakzulan.  Demikian juga dengan eforia masyarakat dalam mendukung SBY pada pilpres 2004 dan 2009, bagaimana reaksi masyarakat saat ini terhadap ketokohan SBY?.   Di satu sisi, masyarakat ingin menimbang lebih dalam bagaimana partai pemenang pemilu dengan tokoh capresnya yang sangat popular dapat mempresentasikan keseriusan komitmen untuk berubah sehingga kembali akan mengecewakan bangsa ini.  Pada sisi yang lain, masyarakat pun merindukan calon alternatif yang bisa menjanjikan komitmen yang berujung kepada kesejahteraan riil bangsa ini.  Jadi, koalisi yang ideal adalah koalisi yang dapat mempertegas posisi partai dalam menjawab kekecewaan masyarakat selama ini, serta koalisi yang mampu menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik.

Maka, seyogyanya pada hari-hari ke depan kita akan melihat perhitungan cermat dari setiap partai, apakah mereka akan kembali terjebak dalam koalisi ramai-ramai karena terlihat ada gula yang sangat manis?, ataukah mereka akan mengambil posisi untuk mempertegas komitmen dan jawaban atas salah satu pertanyaan dan aspirasi masyarakat tersebut?.  Idealnya, dari 10 partai yang kemungkinan besar lolos ke senayan, perlu dibentuk 3 (tiga) jenis tawaran koalisi.  Mengapa demikian?, Pertama agar masyarakat diberikan alternatif pilihan yang sama bobotnya (tidak lagi terfokus kepada satu pilihan), dan Kedua agar bangsa ini benar-benar dapat dibangun dengan kekuatan visi dan program para pemimpinnya, bukan hanya dibangun atas dasar kekuatan popularitas semata.  Sehingga, idealnya akan muncul 3 (tiga) pasang Capres-Cawapres yang bersaing dengan kekuatan dan peluang untuk lolos yang hampir sama.

Koalisi Nasionalisme Perjuangan

Koalisi ini dapat dibentuk oleh partai pemenang pemilu yaitu PDIP dengan menggandeng Partai Golkar dan Partai Nasdem.  Perolehan suara dari ketiga partai ini adalah dominan diangka 42% (20%+15%+7%).  Dengan platform dan ideology partai yang sangat seragam yaitu mengobarkan semangat nasionalisme dan NKRI, maka koalisi ini dapat merepresentasikan partai besar yang akan berkomitmen untuk tidak akan mengecewakan massa pemilihnya di masa mendatang agar tidak terjadi lagi keraguan dan kekecewaan lebih lanjut  pada pemilu 2019 nanti.  Pasangan Capres-Cawapres yang layak diusung oleh koalisi ini adalah Jokowi-Aburizal Bakrie atau Jokowi-Jusuf Kalla.

Koalisi Kebangsaan Demokratis

Koalisi ini dapat dibentuk dengan kekompakan Demokrat, PKB dan PAN serta didukung oleh 2 partai peserta pemilu 2014 yang diperkirakan tidak berhasil lolos ke senayan (PBB & PKPI).  Sehingga, koalisi ini memiliki modal suara sekitar 29% (10%+9%+7.5%+1.5%+1%).  Dengan modal pengalaman kerjasama di pemerintahan SBY, maka koalisi ini harus meyakinkan masyarakat pemilih untuk kembali meminta kesempatan untuk dipercaya dan menata perubahan bangsa ini lebih lanjut dengan semangat dan format koalisi yang diperbaharui.  Kelebihan dari koalisi ini adalah sudah memiliki pengalaman empiris dalam mengelola negara selama 10 tahun yang lalu, sehingga jika kembali dipercaya maka tidak akan kagok dan canggung dalam mengelola perubahan.  Pasangan Capres-Cawapres yang sangat ideal untuk koalisi ini adalah Mahfud MD-Hatta Rajasa, dengan tetap menjadikan SBY sebagai pengendali koalisi.

Koalisi Kerakyatan Berkeadilan

Koalisi ini merupakan alternatif ketiga yang tidak kalah menarik dan kuatnya, yaitu gabungan Gerindra, PKS, PPP dan Hanura dengan modal suara pileg 2014 sekitar 31.5% (12.5%+7%+6.5%+5.5%).  Koalisi ini dapat memberikan alternatif baru pengelolaan negara dengan semangat dan program 6 aksi nyata yang diusung oleh Prabowo.  Pasangan Capres-Cawapres yang pantas untuk koalisi ini adalah Prabowo-Hidayat Nurwahid atau Prabowo-Abraham Samad.

Jika ini terjadi, maka bisa dipastikan rakyat akan semakin dewasa dan berdaulat dalam menentukan pilihan terbaiknya, karena masyarakat disuguhkan dengan calon yang berimbang dan sama-sama berkualitas.  Pun, masyarakat memiliki pilihan kecenderungan untuk melihat garis nyata perbedaan setiap program dan calon yang ditawarkan.

Semoga, bangsa ini tidak terjebak lagi ke dalam kontentasi pilpres yang berdasarkan trend dan idola ketokohan, tetapi benar-benar masuk ke wilayah pilpres yang bermartabat dan berkualitas!.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun