Orang yang bertabiat buruk mungkin saja bisa menutupi tabiatnya pada saat membangun personal brand. Ia mungkin saja bisa meraih simpati.Â
Pertanyaannya, berapa lama seseorang bisa bertahan untuk terus menerus mengenakan topeng?
Orang yang bertabiat baik saja bisa tersandung di media sosial, apalagi kalau pada dasarnya sudah mempunyai tabiat buruk. Begitu stigma buruk melekat pada diri seseorang, susah untuk menghilangkan jejak digital itu. Terlebih kalau usianya masih muda, ini bisa menjadi penghalang besar bagi masa depan.
Integritas sebagai Fundasi dalam Mempresentasikan Materi
Jangan terlalu jauh memaknai integritas sebagai sesuatu yang muluk-muluk, atau dianggap sebagai bahasan dari orang yang "sok moralis".
Integritas, seperti kejujuran dan ketulusan dibutuhkan sebagai fundasi dalam mempresentasikan konten. Ini akan memberi rasa percaya dan rasa aman pada masyarakat yang menyimak suatu presentasi di media sosial. Rasa percaya dan rasa aman inilah yang dibutuhkan orang.
Tetapi integritas bukan sesuatu yang dibuat-buat demi mendapatkan simpati publik. Integritas dilakukan karena melakukan sesuatu yang baik adalah baik adanya.
"Integritas adalah melakukan hal baik, bahkan ketika tidak seorang pun yang melihat", kata Clive Staples Lewis, seorang penulis Inggris.
Integritas berkaitan dengan kejujuran dan ketulusan. Dan kejujuran merupakan hal yang tak bisa ditawar pada saat membangun personal branding.Â
Coba klik berbagai artikel dari para pakar internasional tentang personal branding di Google. Semuanya mensyaratkan integritas sebagai salah satu prasyarat moral untuk membangun personal branding.Â