Di tengah krisis iklim, Indonesia berada dalam situasi paradoks. Di satu sisi, pemerintah mengusung nasionalisme bahan bakar fosil, mengandalkan ekspor batu bara dan gas untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kedaulatan nasional.
Namun di sisi lain, bencana iklim---banjir ekstrem, cuaca ekstrem, hingga kenaikan muka air laut---terus mengancam kestabilan sosial-ekonomi bangsa ini. Pertanyaannya, benarkah Indonesia berdaulat ketika ekonominya bergantung pada sumber daya yang justru merusak masa depan ekologis dan ekonominya sendiri?
Konsensus ilmiah menggarisbawahi urgensi ini. Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature (2021) menyebutkan bahwa 90 persen cadangan batu bara dan hampir 60 persen cadangan minyak dan gas global harus tetap di dalam tanah demi mencegah krisis iklim yang semakin parah.
Bagi Indonesia yang merupakan salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia---mengirimkan sekitar 455 juta ton sepanjang tahun 2023---data ini menyiratkan perlunya transformasi besar dalam strategi ekonomi nasional.
Namun kenyataannya, Indonesia masih terus memperbesar ketergantungan pada infrastruktur berbahan bakar fosil. Industri ekstraktif menyumbang sekitar 15 persen dari APBN, menopang berbagai program publik.
Secara politik, konsep kemandirian energi melalui bahan bakar fosil memiliki daya tarik kuat bagi masyarakat, sekaligus memberi kebanggaan nasional. Investasi besar juga diarahkan ke proyek Carbon Capture and Storage (CCS), yang diklaim sebagai solusi hijau namun sejatinya hanya memperpanjang usia industri fosil.
Namun, model ekonomi berbasis fosil ini mengandung risiko besar. Dengan meningkatnya kecenderungan keunagan internasional menghindari investasi fosil serta penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh sejumlah negara maju, ekspor batu bara Indonesia terancam kehilangan daya saing. Investasi besar di PLTU batu bara dan infrastruktur fosil berisiko menjadi aset terbengkalai (stranded assets), menciptakan kerentanan ekonomi tinggi di masa depan.
Target pemerintah untuk mencapai net-zero emissions pada 2060 dan komitmen dalam Nationally Determined Contributions (NDC) berdasarkan Perjanjian Paris juga akan menjadi mustahil jika laju ekstraksi tidak segera direm.
Sementara itu, CCS yang banyak digembar-gemborkan sejauh ini lebih berfungsi sebagai pelindung industri fosil daripada solusi iklim yang efektif. Selain mahal, teknologi CCS juga menghadapi kendala teknis, skalabilitas yang terbatas, serta risiko lingkungan tinggi mengingat Indonesia rawan gempa dan kondisi geologinya tidak stabil.
Indonesia perlu untuk mendefinisikan ulang arti kedaulatan energinya. Di abad ke-21, kedaulatan bukan lagi tentang seberapa banyak cadangan fosil yang dikendalikan, melainkan tentang ketahanan energi melalui sumber-sumber terbarukan dan jaringan energi yang terdesentralisasi. Pembangunan panel surya berbasis komunitas, mikrogrid antarpulau, dan investasi dalam penyimpanan energi baterai merupakan langkah strategis menuju ketahanan ekonomi lokal yang kokoh, bebas dari guncangan pasar global.