Mohon tunggu...
Eka Wahyu
Eka Wahyu Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

S1 Al-Azhar University, Kairo (Fakultas Syariah) S2 Universitas Indonesia, Jakarta (Ekonomi dan Keuangan Syariah)

Selanjutnya

Tutup

Money

Neo-Sufisme Economy; Konsep Ekonomi Ghazaliyah & Tasawuf Modern

15 Desember 2016   16:17 Diperbarui: 15 Desember 2016   22:16 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Eka Wahyu HB., Lc.
(Mahasiswa Pascasarjana KTTI Peminatan EKS 31 Universitas Indonesia)
(NIM 1606861372)

Dunia dengan segala modernitasnya, membuat banyak manusia lupa akan tujuan hidupnya di alam ini. Seakan-akan semuanya hanya berorientasi untuk dunia semata, hanya sedikit orientasi untuk akhiratnya kelak. Dengan kondisi seperti ini, terjadilah kekosongan jiwa dan nilai-nilai spiritualitas pada umat manusia umumnya, umat muslim secara khususnya. Setelah sebagian umat muslim menyadari hal ini, salah satu yang dapat ditempuh adalah melalui tazkiyah nafs (menyucikan diri) dengan men-tasawufkan diri. 

Namun, sebagian besar umat muslim melakukan teori tasawuf yang lebih kepada metode ortodoks, yang lebih mengikuti tren tarekat-tarekat yang tidak jelas arah tujuan, dan mungkin hanya bertujuan untuk menjauhi sifat keduniawian, sehingga banyak dari mereka lari dari kewajiban kita sebagai khalifah di bumi bahkan menjauhi hal-hal yang bersifat sebagai manusia sosial. Dengan demikian membuat umat islam tertinggal jauh dengan umat manusia lainnya karena metode tasawufnya yang sangat-sangat mementingkan hidupnya di akhirat, dan menjauhi urusan hidupnya di dunia.

Padahal Rasulullah mengajari kita sebagai umat muslim untuk menjadi makhluk sosial, memelihara keseimbangan iklim alam, serta bekerja dan beribadah secara maksimal di dunia ini untuk kelanjutan hidupnya di akhirat kelak. Seperti dalam salah satu hikmah kehidupan yang diucapkan oleh salah satu sahabat: “I’mal li dunyaka ka annaka ta’isyu abadan wa’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan”. Yang artinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu meninggal besok”.

Disini terbentuklah sebuah metode tasawuf yang lebih modern, tidak artodoks yang kaku. Dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim, yang beranggapan bahwa metode tasawuf ortodoks telah menyimpang dari syariat atau keluar dari batasan-batasan syariat serta melakukan bid’ah dalam beragama. Terminologi Neo-Sufisme atau tasawuf modern sendiri dimunculkan oleh pemikir Muslim kontemporer yakni Fazlur Rahman dalam bukunya “Islam”. 

Seperti kita ketahui, dalam metode tasawuf Ghazaliyah, para pengikut Imam Ghazali, ilmu hakikat tingkatannya lebih tinggi daripada ilmu syariat. Sebagaimana urutan ilmu adalah syariat, tarekat, hakikat, dan yang tertinggi adalah makrifat. Maka dalam paham Neo-Sufisme, adanya integrasi antara hakikat dan syariat. Dalam tasawuf Ghazaliyah salah satu syarat untuk menuju tingkatan hakikat kita harus ber-uzlah, yakni menyendiri atau menjauhkan diri secara jasmani dan rohani.  Sedangkan sebaliknya, tasawuf modern atau Neo-Sufisme syarat mencapai tingkatan hakikat justru harus ber-khultah, yakni aktif membangun berbagai aspek kehidupan masyarakat secara luas. Dari sinilah, prinsip penting dalam paham Neo-Sufisme adalah tawazun, atau adanya kesamaan antara urusan dunia dan akhirat, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.


Salah satu konsep ekonomi Neo-Sufisme yang kita ambil adalah salah satu konstruksi pemikiran tokoh Neo-Sufisme, Fazlur Rahman, terhadap penetapan zakat sebagai pajak. Disini kita perlu mengetahui konsep dasar antara zakat dan pajak. Fazlur Rahman hidup di tengah-tengah perang pemikiran antara golongan modernis dan golongan tradisionalis fundamentalis yang kedua-duanya ingin merumuskan sebuah negara Islam Pakistan. Di antara dialektika tokoh-tokoh penting kedua golongan tersebut, dari modernis seperti Iqbal, Sir Sayyid Ahmad Khan, Maulana Muhammad ‘Ali. Dari golongan fundamentalis, terdapat seorang tokoh besar di belakangnya, yakni Abu A’la al-Maududi.

 Awal dari pemikiran tentang penetapan zakat sebagai pajak terjadi karena pada saat itu terjadi anggaran belanja pemerintah Pakistan yang melambung tinggi, disebabkan kondisi politik yang tidak stabil atas kekalahan perang menghadapi India. Semakin terpuruklah perekonomian Pakistan. Pemikiran ini disebabkan pula karena menghindarinya masyarakat Pakistan atas wajib pajak karena masyarakat muslim Pakistan menganggap pajak adalah hasil dari pemikiran Barat. 

Oleh karena itu, Fazlur Rahman berpikir ingin merasionalkan dan mengefisienkan sistem perpajakan dengan membenahi sistem zakat di negaranya, Pakistan. Dengan latar belakang yang menarik ini, yang saling bertentangan karena dia hidup dalam tradisi keilmuan madrasah Pakistan yang Islam Tradisional dan tradisi keilmuan Barat yang berkonsep liberal, sehingga membentuk intelektualitasnya dalam kasus pemikirannya, penetapan zakat sebagai pajak.

Konsep ekonomi zakat ini didasarkan pada penafsirannya terhadap rincian distribusi zakat dalam surah At-Taubah ayat 60 dan surah Al-Hasyr ayat 7. Menurutnya, dalam arti luas, ayat-ayat tersebut mengisyaratkan terbentuknya kesejahteraan sosial melalui zakat meliputi menolong para gharimin, gaji pegawai administratif (kolektor pajak), pengeluaran diplomasi (untuk menarik hari orang-orang ke dalam Islam), pertahanan, pendidikan, komunikasi, dan kesehatan.

Menurutnya lagi, pada saat itu banyak salah paham tentang cakupan zakat, sehingga zakat adalah pajak harta yang diberlakukan kepada harta seseorang yang tertimbun dan merupakan surplus, tidak sejalan terhadap pendapatan tahunan sebagaimana pendapat beberapa penulis. Di abad modern khususnya, zakat menjadi murni santunan yang bersifat sukarela, sedang kedudukannya yang dulu diganti oleh pajak sekuler yang datang dari negara modern. Dia sangat menyayangkan sikap ulama yang menolak langkah penyesuaian zakat dengan dalih apabila zakat tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Islam, pemerintah dapat menetapkan pajak lainnya. Penetapan pajak-pajak yang tidak islami ini, baginya merupakan esensi sekularisme.

Pemikiran ini sejalan ketika dia menjadi Direktur pada Instituteof Islamic Research dan anggota dari Advisory Council of Islamic Ideology. Yang mana lembaga tersebut memiliki konsep untuk menjelaskan ajaran-ajaran agama Islam dalam term-term rasional dan ilmiah untuk menjewantahkan isu-isu masyarakat modern yang progresif. Dan konsep keduanya untuk meninjau seluruh hukum, baik yang sudah maupun yang belum diterapkan untuk diselaraskan dengan Alquran dan Sunnah. Di satu sisi dia seorang Neo-Sufisme sejati dan di lain sisi dia harus berhadapan dengan usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan masa itu.

Pemikiran ini banyak menimbulkan kontroversi antara kalangan modernis dan kalangan ulama tradisionalis fundamentalis. Dari kalangan modernis menganggap Fazlur Rahman salah karena dia terlalu tergesa-gesa mengadakan perubahan zakat yang telah mapan. Sedangkan dari kalangan ulama tradisionalis fundamendalis selalu menyerang pemikirannya yang mereka anggap liberal, yang mana pemikiran yang mempresentasikan kalangan modernis. Bahkan sebagian menganggap Fazlur Rahman sebagai munkir Alquran.

Mungkin jika lihat secara sepintas, pemikiran Fazlur Rahman ini banyak diambil dari kebijaksanaan Khalifah Umar bin Khatthab yang sangat inovatif dan kreatif dalam rangka memajukan sebuah negara. Tapi di lain sisi, dia harus berhadapan dengan kehidupan masyarakat negara dengan tantangan modernitas di dalamnya. Melihat fenomena sebagian besar berasal dari sejarah Islam sendiri, dan sebagian lainnya tantangan modernitas. Dia mencoba menyeimbangkan antara Islam Tradisional dengan konsep tasawufnya dan Islam Modern untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Dengan ini dia menganggap bahwa zakat adalah the only tax imposed by the Qur’an(satu-satunya pajak yang diberlakukan oleh Alquran). Di mana zakat sudah diamalkan oleh agama samawi sebelum zakat dalam islam itu muncul, yang kemudian diadopsi sebagai amal ibadah maliyah ijtima’iyyah. Ini bisa dipahami dari penafsiran surah Al-Anbiya’ ayat 73. Zakat adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim yang harus dilaksanakan sebagaimana pajak. Pembayaran pajak adalah wujud kewajiban dalam bernegara yang bertujuan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dengan begitu, setiap warga negara dapat ikut berperan aktif dalam peningkatan ekonomi. Pemikiran ini berlainan dengan pemikiran Masdar Farid Mas’udi yang mengatakan bahwa pajak itu zakat.

Dengan pemikirannya itu, penetapan zakat sebagai pajak yaitu metode “double movement of interpretation”.Pertama dilihat dari aspek maqashid syariah dan yang kedua dilihat dari aspek pengembangan illathukum zakat. Aspek maqashid syariah yakni untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan dengan cara penafsiran kembali terhadap kategori delapan asnaf yang mencakup seluruh aspek pembiayaan negara, meliputi bidang pertahanan, pendidikan, komunikasi, dan bahkan pembiayaan pendelegasian diplomatik. 

Sedangkan dilihat dari aspek pengembangan illat hukum yaitu agar tercipta kesejahteraan sosial, ekonomi, politik dan keuangan, dengan cara distribusi kekayaan sehingga kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya. Maka menurutnya zakat harus mencakup seluruh aktivitas dan kebutuhan dana sebuah negara modern.

Karena gagasan-gagasan pembaharuan Fazlur Rahman banyak yang menganggapnya sebagai gagasan liberal, yang mana para ulama tradisionalis fundamentalis menentangnya, maka ia memilih mundur dari jabatannya sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan melepas keanggotaannya dari Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan. Kemudian ia ditarik untuk menjadi profesor pemikiran Islam di Universitas Chicago hingga menjelang wafatnya pada Juli 1988.

Daftar Pustaka

A’la, Abd. Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.

Al-Munawwar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,Jakarta: Penamadani, 2004.

Amal, Taufik Adnan, “Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini” dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman(Terj.) Cet. Ke-5. Mizan: Bandung, 1993.

Chapra, M. Umar, Islam and The Economic Challenge,terj. Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi,Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Mas’udi, Masdar Farid, Agama Keadilan: Risalah Zakat (pajak) dalam Islam,cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik Kontermporer,Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun