Di sebuah desa kecil yang sunyi, seorang pemuda paruh baya duduk di lumbung padi. Ia menunduk, memandangi tanah sambil meratapi hidup yang terasa begitu berat.
Hatinya penuh amarah dan kepahitan. Ia merasa dunia tidak adil selalu memberinya lebih banyak luka daripada tawa.
"Kenapa semua ini harus terjadi padaku?" gumamnya, memandangi tumpukan jerami yang tampak lebih tenang dari isi kepalanya.
Tiba-tiba, dari ujung jalan tanah yang berdebu, muncul seorang kakek tua berjubah lusuh. Jalannya pelan, ditopang tongkat kayu, namun sorot matanya damai dan teduh. Keriput di wajahnya seperti peta dari ribuan perjalanan. Ia berhenti di depan pemuda itu dan bertanya dengan suara lembut.
"Apa yang membuatmu begitu gelisah, Nak?"
Pemuda itu menghela napas berat, lalu membuka seluruh isi hatinya. Ia bercerita tentang kegagalan usahanya, tentang hinaan yang ia terima dari tetangga karena miskin, tentang perasaannya bahwa Tuhan sudah lupa padanya.
"Aku sudah cukup menderita," katanya pahit. "Kenapa hidupku tak juga membaik?"
Kakek itu tersenyum tipis, menatap langit sejenak, lalu berkata dengan nada pelan namun dalam.
"Kalau manusia tak pernah sengsara,
Bagaimana ia tahu indahnya nikmat yang datang padanya?
Kalau hati tak pernah retak,
Bagaimana cahaya Tuhan bisa masuk menyentuhnya?
Kalau kecewa tak pernah menyapa,
Bagaimana ia belajar menjaga perasaan sesama?
Kalau luka tak pernah ada,
Bagaimana ia tahu cara merawat jiwanya?
Dan kalau bahagia terus-menerus hadir,
Bagaimana ia tahu bahwa yang ia rasakan itu adalah sebuah kebahagiaan?"
Pemuda itu terdiam. Kalimat-kalimat itu seperti lagu yang mengalun di dalam hatinya, menyentuh sisi yang tak pernah ia kenal.