Mohon tunggu...
Wahyudi bin Rasyidi
Wahyudi bin Rasyidi Mohon Tunggu... Freelancer - Desain Grafis - Jasa Ketik

Wahyudi bin Rasyidi adalah seorang penulis yang memiliki kecintaan mendalam terhadap cerpen dan puisi. Baginya, tulisan adalah sesuatu yang sakral, laksana anak yang lahir dari perpaduan bumbu derita dan cinta. Ia berharap, setiap tulisan yang dihasilkan dapat menjadi doa yang menyelamatkannya dari penderitaan di kehidupan mendatang. Dalam kesehariannya, Wahyudi bekerja sebagai seorang freelancer. Namun, di tengah kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis di jurnal pribadinya di https://jurnal-renungan-masyarakat.blogspot.com/ (JRM-Jurnal Renungan Masyarakat) untuk mencurahkan pikiran dan perasaannya melalui untaian kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kalau Manusia Tidak Pernah Sengasara

11 Mei 2025   10:41 Diperbarui: 11 Mei 2025   10:41 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemuda galau, create with: ChatGPT Image

Di sebuah desa kecil yang sunyi, seorang pemuda paruh baya duduk di lumbung padi. Ia menunduk, memandangi tanah sambil meratapi hidup yang terasa begitu berat.

Hatinya penuh amarah dan kepahitan. Ia merasa dunia tidak adil selalu memberinya lebih banyak luka daripada tawa.

"Kenapa semua ini harus terjadi padaku?" gumamnya, memandangi tumpukan jerami yang tampak lebih tenang dari isi kepalanya.

Tiba-tiba, dari ujung jalan tanah yang berdebu, muncul seorang kakek tua berjubah lusuh. Jalannya pelan, ditopang tongkat kayu, namun sorot matanya damai dan teduh. Keriput di wajahnya seperti peta dari ribuan perjalanan. Ia berhenti di depan pemuda itu dan bertanya dengan suara lembut.

"Apa yang membuatmu begitu gelisah, Nak?"

Pemuda itu menghela napas berat, lalu membuka seluruh isi hatinya. Ia bercerita tentang kegagalan usahanya, tentang hinaan yang ia terima dari tetangga karena miskin, tentang perasaannya bahwa Tuhan sudah lupa padanya.

"Aku sudah cukup menderita," katanya pahit. "Kenapa hidupku tak juga membaik?"

Kakek itu tersenyum tipis, menatap langit sejenak, lalu berkata dengan nada pelan namun dalam.

"Kalau manusia tak pernah sengsara,
Bagaimana ia tahu indahnya nikmat yang datang padanya?
Kalau hati tak pernah retak,
Bagaimana cahaya Tuhan bisa masuk menyentuhnya?
Kalau kecewa tak pernah menyapa,
Bagaimana ia belajar menjaga perasaan sesama?
Kalau luka tak pernah ada,
Bagaimana ia tahu cara merawat jiwanya?
Dan kalau bahagia terus-menerus hadir,
Bagaimana ia tahu bahwa yang ia rasakan itu adalah sebuah kebahagiaan?"

Pemuda itu terdiam. Kalimat-kalimat itu seperti lagu yang mengalun di dalam hatinya, menyentuh sisi yang tak pernah ia kenal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun