Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Sang Pena Tua

Pena tua mengisi ruang literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kapan Dunia Kehilangan Ruang Mendidik, Yaitu Saat Guru Selalu Dianggap Salah

20 Oktober 2025   12:41 Diperbarui: 20 Oktober 2025   12:41 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu Salah: Ketika Guru Kehilangan Ruang untuk Mendidik

Ada siswa merokok di lingkungan sekolah. Kepala sekolah menegur. Namun sang siswa justru melawan, merasa tersinggung, merasa berhak membalas. Dalam emosi dan kelelahan mendidik, guru menampar---tidak dengan kebencian, tapi dengan naluri mendisiplinkan. Besoknya, orang tua datang membawa laporan polisi. Berita pun menyebar. Hasil akhirnya: kepala sekolah dinonaktifkan oleh gubernur.

Beberapa waktu kemudian, di sekolah lain, ada siswa merokok. Guru di sebelahnya melihat, tapi diam. Ia tak menegur, tak menindak. "Takut," katanya. "Salah bicara bisa viral, salah bertindak bisa dipecat." Namun diamnya pun menjadi kesalahan: dipanggil oleh kepala dinas karena dianggap lalai dan tidak berfungsi sebagai pendidik.

Begitulah nasib guru hari ini: selalu salah.
Bertindak---disalahkan.
Diam---disalahkan.
Mendidik---disalahartikan.
Berdiam diri---dituduh tidak peduli.

Dilema Guru di Era Sensitivitas Berlebihan

Menjadi guru kini bukan hanya soal mengajar pengetahuan, tapi juga bertarung dengan persepsi sosial. Guru dituntut menjadi pendidik yang ideal, tetapi dunia tidak lagi memberi ruang untuk proses mendidik.

Mendidik bukan sekadar menyampaikan pelajaran; mendidik adalah membentuk karakter. Di dalamnya ada teguran, ada konsekuensi, ada disiplin, bahkan terkadang ada ketegasan yang tidak selalu lembut. Namun zaman kini telah berubah: ketegasan disalahartikan sebagai kekerasan, dan kelembutan dianggap kelemahan.

Dalam pusaran itu, guru tak lagi bebas menegakkan nilai. Mereka dipaksa menimbang segala tindakan dengan rasa takut: takut viral, takut dilapor, takut salah. Padahal, di ruang kelas sejatinya sedang berlangsung proses pembentukan manusia---yang tak akan lahir dari ruang steril tanpa tantangan dan batasan.

Etika dan Disiplin: Jiwa yang Mulai Hilang

Guru sejatinya bukan penjaga nilai akademik semata, melainkan penjaga nilai etik. Ia mengajarkan yang tak tercantum dalam buku pelajaran: sopan santun, tanggung jawab, rasa hormat, dan disiplin. Nilai-nilai itu bukan bisa diajarkan lewat PowerPoint atau worksheet, tapi lewat contoh hidup, tindakan nyata, bahkan teguran yang mendidik.

Namun ketika setiap tindakan guru diukur dengan pasal dan opini publik, maka pendidikan kehilangan ruhnya. Yang tertinggal hanyalah kepatuhan tanpa makna, ketakutan tanpa wibawa. Sekolah pun berubah menjadi tempat di mana guru hanya sekadar bertahan---bukan lagi membentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun