Selalu Salah: Ketika Guru Kehilangan Ruang untuk Mendidik
Ada siswa merokok di lingkungan sekolah. Kepala sekolah menegur. Namun sang siswa justru melawan, merasa tersinggung, merasa berhak membalas. Dalam emosi dan kelelahan mendidik, guru menampar---tidak dengan kebencian, tapi dengan naluri mendisiplinkan. Besoknya, orang tua datang membawa laporan polisi. Berita pun menyebar. Hasil akhirnya: kepala sekolah dinonaktifkan oleh gubernur.
Beberapa waktu kemudian, di sekolah lain, ada siswa merokok. Guru di sebelahnya melihat, tapi diam. Ia tak menegur, tak menindak. "Takut," katanya. "Salah bicara bisa viral, salah bertindak bisa dipecat." Namun diamnya pun menjadi kesalahan: dipanggil oleh kepala dinas karena dianggap lalai dan tidak berfungsi sebagai pendidik.
Begitulah nasib guru hari ini: selalu salah.
Bertindak---disalahkan.
Diam---disalahkan.
Mendidik---disalahartikan.
Berdiam diri---dituduh tidak peduli.
Dilema Guru di Era Sensitivitas Berlebihan
Menjadi guru kini bukan hanya soal mengajar pengetahuan, tapi juga bertarung dengan persepsi sosial. Guru dituntut menjadi pendidik yang ideal, tetapi dunia tidak lagi memberi ruang untuk proses mendidik.
Mendidik bukan sekadar menyampaikan pelajaran; mendidik adalah membentuk karakter. Di dalamnya ada teguran, ada konsekuensi, ada disiplin, bahkan terkadang ada ketegasan yang tidak selalu lembut. Namun zaman kini telah berubah: ketegasan disalahartikan sebagai kekerasan, dan kelembutan dianggap kelemahan.
Dalam pusaran itu, guru tak lagi bebas menegakkan nilai. Mereka dipaksa menimbang segala tindakan dengan rasa takut: takut viral, takut dilapor, takut salah. Padahal, di ruang kelas sejatinya sedang berlangsung proses pembentukan manusia---yang tak akan lahir dari ruang steril tanpa tantangan dan batasan.
Etika dan Disiplin: Jiwa yang Mulai Hilang
Guru sejatinya bukan penjaga nilai akademik semata, melainkan penjaga nilai etik. Ia mengajarkan yang tak tercantum dalam buku pelajaran: sopan santun, tanggung jawab, rasa hormat, dan disiplin. Nilai-nilai itu bukan bisa diajarkan lewat PowerPoint atau worksheet, tapi lewat contoh hidup, tindakan nyata, bahkan teguran yang mendidik.
Namun ketika setiap tindakan guru diukur dengan pasal dan opini publik, maka pendidikan kehilangan ruhnya. Yang tertinggal hanyalah kepatuhan tanpa makna, ketakutan tanpa wibawa. Sekolah pun berubah menjadi tempat di mana guru hanya sekadar bertahan---bukan lagi membentuk.