Kebijakan modern selalu dihadapkan pada banyak variabel yang saling memengaruhi. Menutup sekolah bukan hanya soal mencegah penularan, tetapi juga terkait dengan kesenjangan digital, kesehatan mental anak, produktivitas orang tua, hingga ketimpangan ekonomi. Di sinilah jebakan simplifikasi muncul: solusi sederhana tampak menggoda, tetapi justru bisa menimbulkan kerusakan lebih luas.
Pandemi Covid-19: Cermin Paling Nyata Era Multi
Jika ada satu peristiwa global yang membuktikan hadirnya era multi, maka pandemi Covid-19 adalah jawabannya. Ia bukan sekadar wabah penyakit, melainkan grand crisis yang menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia.
- Kesehatan: rumah sakit kewalahan, tenaga medis kelelahan, distribusi vaksin timpang.
- Ekonomi: rantai pasok global terguncang, PHK massal, UMKM runtuh.
- Sosial: isolasi melahirkan kesepian, solidaritas sekaligus stigma sosial.
- Pendidikan: peralihan daring memperlebar jurang digital antara si kaya dan miskin.
- Hukum & Politik: regulasi darurat memicu perdebatan tentang hak warga.
- Keamanan & Pertahanan: aparat dikerahkan, logistik militer dimobilisasi.
- Psikologi: kecemasan massal, trauma kolektif, depresi.
- Informasi: infodemic memperparah krisis kepercayaan terhadap sains dan pemerintah.
Satu virus kecil menjerat dunia dalam jaring multidimensi, multisektor, multidisiplin, dan multivariabel. Ia memaksa negara multitasking dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sosiolog Jerman Ulrich Beck pernah menyebut bahwa kita hidup dalam risk society---masyarakat risiko---di mana setiap inovasi dan globalisasi melahirkan risiko baru yang lintas batas, tak bisa diselesaikan secara lokal. Pandemi Covid-19 adalah bukti paling telanjang dari konsep itu: satu virus dari satu wilayah mampu mengunci seluruh dunia.
Menata Pola Pikir di Era Multi
Menghadapi kompleksitas ini, pola pikir silo dan linear tidak lagi memadai. Kita membutuhkan system thinking (Capra), yaitu berpikir dalam jejaring hubungan, bukan sekadar titik-titik terpisah. Kita juga perlu adaptive governance, yakni kebijakan yang dirancang untuk berubah seiring data baru. Pemerintah harus fleksibel, organisasi harus kolaboratif, individu harus membangun literasi multidisiplin: dari data hingga empati sosial.
Prinsip-prinsip yang mendesak untuk diadopsi antara lain:
- Berpikir sistemik: melihat keterhubungan sebab-akibat.
- Adaptif: kebijakan siap berubah sesuai realitas baru.
- Polisentris: banyak titik pengambilan keputusan yang saling berkolaborasi.
- Transparan: membangun kepercayaan publik lewat komunikasi jujur.
- Berkeadilan: melindungi kelompok rentan agar solusi tidak menambah ketimpangan.
Risiko Mengabaikan Era Multi
Mengabaikan realitas multi berarti mengulang kesalahan lama: kebijakan parsial yang gagal, biaya sosial yang melonjak, krisis berkepanjangan, dan ketidakadilan yang semakin dalam. Solusi teknokratis tanpa sensitivitas sosial bisa memicu resistensi publik, sementara populisme tanpa basis ilmu hanya memperburuk masalah.
Penutup: Dari Kompleksitas Menuju Ketahanan