Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Sang Pena Tua

Pena tua memulung kata mengisi ruang literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencermati Era "Multi", Menafsir Kompleksitas Zaman

22 September 2025   20:44 Diperbarui: 22 September 2025   20:44 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita hidup bukan lagi di zaman masalah sederhana dengan jawaban linear. Dunia modern menghadirkan persoalan yang berlapis, saling terkait, dan penuh variabel yang bergerak cepat. Satu kebijakan bisa memengaruhi banyak sektor, satu masalah bisa melahirkan dampak di berbagai dimensi kehidupan. Inilah yang menandai lahirnya sebuah realitas baru yang saya sebut era "multi": multitasking, multidisiplin, multisektor, multidimensi, dan multivariabel.

Era ini bukan sekadar istilah baru, melainkan refleksi cara kerja realitas kontemporer yang menuntut pola pikir berbeda. Seperti dikatakan Edgar Morin, seorang filsuf Prancis, "kompleksitas adalah tantangan terbesar abad ini, sebab ia mengharuskan kita berpikir lintas disiplin, melihat hubungan yang terjalin, bukan sekadar memecah-mecah bagian." Artinya, kita tidak bisa lagi mengelola dunia dengan kacamata tunggal.

Multitasking: Kapasitas Bertahan di Tengah Tekanan

Multitasking tidak lagi sekadar kemampuan individu, tetapi kapasitas institusional. Pemerintah, misalnya, tidak bisa hanya fokus pada kesehatan publik, melainkan juga harus menjaga ekonomi, memastikan pendidikan tetap berjalan, dan mengendalikan stabilitas politik---semuanya di saat yang sama. Seperti ditegaskan oleh Fritjof Capra dalam kerangka system thinking, kehidupan adalah jaringan; maka manajemen krisis pun harus dilakukan dengan kesadaran bahwa setiap simpul memengaruhi simpul lain. Multitasking pada akhirnya bukan pilihan, melainkan syarat bertahan hidup.

Multidisiplin: Ilmu yang Bersinergi, Bukan Terfragmentasi

Krisis kontemporer membongkar kelemahan spesialisasi ilmu yang terlalu sempit. Epidemiologi saja tidak cukup untuk melawan pandemi; ia membutuhkan psikologi perilaku, hukum, teknologi digital, ekonomi, bahkan filsafat etika. Pendekatan multidisiplin inilah yang memungkinkan lahirnya solusi yang bukan hanya efektif, tetapi juga adil. Seperti Morin ingatkan, "pengetahuan yang terfragmentasi melahirkan kebutaan, sementara kompleksitas hanya bisa dipahami lewat keterhubungan."

Multisektor: Kolaborasi sebagai Syarat Dasar

Tidak ada satu sektor pun yang mampu menanggung krisis besar sendirian. Pemerintah membutuhkan data akademisi, inovasi swasta, kesadaran media, dan solidaritas masyarakat sipil. Kolaborasi multisektor adalah mekanisme dasar, bukan jargon. Pandemi menunjukkan bahwa saat sektor bergerak sendiri-sendiri, hasilnya terpecah; tetapi ketika bersatu, kapasitas kolektif meningkat berlipat.

Multidimensi: Satu Masalah, Banyak Wajah

Setiap isu kini berkelindan dalam banyak dimensi. Pandemi, misalnya, adalah krisis kesehatan yang sekaligus krisis ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, politik, psikologi, dan informasi. Mengabaikan salah satu dimensi sama saja dengan menyiapkan bom waktu di dimensi lain. Oleh karena itu, berpikir dalam satu dimensi saja berarti menutup mata pada sebagian besar kenyataan.

Multivariabel: Mengelola Kerumitan Tanpa Jawaban Sederhana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun