Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Semenjak Saat Itu

6 November 2019   07:34 Diperbarui: 6 November 2019   07:30 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Oh. Ayah tak ada di kamarnya! Kemana ayah? Bukankah masih terlalu pagi untuk pergi ke sawah mengurus padi yang telah menguning? Memang dua minggu lagi panen. Harus sering ditengok. Ayah tak biasanya begini. Ia tak pernah pergi tanpa berpamitan.

Aku mencarinya. Pasti ayah ke makam ibu. Berkali-kali selalu begitu ketika tak kutemukan ayah di kamar. Benar saja. Ayah ke makam ibu. Lega rasanya.

Aku mengamati dari jauh. Ayah membawa beberapa kuntum bunga yang dipetik dari halaman rumah. Membiarkannya larut dalam doa dan menyapa ibu dengan caranya. Aku tahu, jalinan cinta kuat mengikat keduanya. Pasti bisa menjadi penghubung, meski ibu telah pergi ke alam yang berbeda.

Ayah menghela nafas panjang. Entah apa yang dibicarakan dengan ibu. Tapi wajah ayah tampak lega. Pancaran matanya bersinar lebih terang. Tak bisa kutebak, apakah ayah telah merelakan ibu atau sebaliknya.

Aku segera pulang sebelum ayah mengetahui keberadaanku.

"Nok, mana kopi buat ayah? Juga sarapannya? Ayah merasa lapar sekali. Masak apa kamu hari ini?" pertanyaan beruntun dari ayah membuatku kaget. Ayah menanyakan sesuatu yang sudah lama tak ditanyakan. Aku tersentak kaget.

"Beneran ayah ingin sarapan sepagi ini? Nok tadi masak nasi goreng. Ayah pasti suka, karena ini resep ala ayah. Istimewa. Aku ambilkan ya, yah." kataku semangat. Ayah mengangguk. Ayah memang penggemar nasi goreng, dengan ikan teri kecil di dalamnya, serta cabai rawit pedas lima biji. Itu resep yang diberikan ayah kepadaku, saat aku belajar memasak sepeninggal ibu.

"Sedikit atau banyak, yah?"

"Secukupnya!"

Hari ini merupakan hari yang benar-benar menakjubkan. Ayah kembali bersemangat. Hatiku sangat riang. Tak ada lagi wajah muram  Ia telah kembali, dengan kasih dan sayangnya buatku dan adik.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun