Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menarilah Denganku, Cha!

19 Juli 2019   10:16 Diperbarui: 19 Juli 2019   19:54 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.aliexpress.com

Sebelumnya.

Aku kehilangan jejaknya. Tidak tahu lagi harus mencari kemana. Bahkan studio miliknya yang biasa aku sambangi sekarang sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa di sini pernah ada studio tari besar miliknya.

Aku menangis sejadinya. Bunyi sesegukan bahkan bisa terdengar jelas. Dan aku akan tetap meraung, jika saja Intan tak menghentikannya agar tidak menangis.

"Sudahlah kak. Nanti kita bertanya pada teman kakak yang tahu keberadaannya. Kakak masih capek, setelah kemarin siang tiba dari jauh."

Intan memelukku. Terasa nyaman. Meski ia masih berusia muda, jauh di bawahku. Entah mengapa di saat seperti ini, ketika aku membutuhkan bahu buat bersandar, ia bisa membuatku sedikit lega. Padahal aku hanya meninggalkannya tiga tahun. Tetapi Intan bisa menjadi lebih dewasa. Ia telah menjelma menjadi gadis rupawan dan lebih tinggi menjulang.

Intan sudah memasuki SMA. Sedangkan saat aku meninggalkannya masih SMP. Waktu demikian cepat bisa merubahnya. Dulu, saat aku masih bersamanya, ia masih manja dan bergantung padaku. Apalagi sudah tak ada orang tua yang bisa membimbingku dan dia. Tetapi ia berjanji, akan tetap kompak denganku, dua bersaudara.

Dulu ia pernah memprotes, mengapa aku terlalu sibuk menari. Ia merasa aku melupakannya. Ia menganggapku sebagai pengganti mama papa. Sedangkan aku kakaknya, yang juga sedang mencari jati diri.

Tetapi masa-masa itu telah bisa terlampau dengan baik. Sehingga ada kesepakatan, bahwa kegiatanku adalah untuknya. Aku mencari nafkah dengan menari untuknya. Setelah orang tua kami meninggal karena kecelakaan.

Jiwaku memang untuk tarian. Dan tarian itu... ah, mengingatkanku pada Sandy. Pemilik studio tari terbesar di kota ini. Dan sekarang, entah kemana dia. Terakhir bertemu dengannya, ketika ia mengantarkanku ke bandara, untuk terbang ke Singapura. Memenuhi beasiswa yang aku idamkan sejak lama. Dan aku belajar selama tiga tahun mendalami tarian, sesuai dengan jurusan yang kusuka.

Memang, selama di sana, aku mengalami kesulitan untuk menghubungi Sandy, karena demikian padatnya jadwal kuliah. Hingga akhirnya, sama sekali kehilangan kontak. Aku percaya padanya, bahwa suatu saat aku akan menemuinya dan mempersembahkan kelulusan dengan nilai gemilang padanya, dan datang ke studio miliknya.

Aku mendambakannya. Sungguh, aku sangat terobsesi padanya. Saat ia begitu pandai dan lentur saat menari. Jiwanya seperti menyatu pada tarian itu. Ia juga fasih membuat koreografi yang pas dengan musik yang sesuai tarian. Sehingga selalu penuh penonton, saat mengadakan performa.

Dan aku adalah penarinya yang bisa membuat jiwanya merasuk dalam tarian. Berkelana di tarian, sehingga performa menjadi hidup dan selalu mendapatkan standing applause di akhir tarian.

Terakhir, aku menari bersamanya dengan judul Tarian Perpisahan ciptaannya. Ia seperti sudah merasakan, bahwa aku akan meninggalkannya untuk studi. Padahal pada saat itu, aku masih merahasiakan darinya.

Dan sekarang, di saat aku kembali. Dengan perasaan rindu yang menggunung. Kepadanya, juga tariannya. Mengapa ia menghilang? Kemana ia?

"Sandy...," desahku.

***

Kehidupan memang harus terus berjalan. Dan aku tak bisa terus menerus meratapi kehilangan. Bagiku, semangat Sandy masih menyala dalam sanubariku. Aku selalu mengingat pesannya, agar tak patah arang dan selalu berkreasi. Banyak belajar dan kreatif. Mengeksplorasi kemampuan diri, melatih tubuh agar tak menjadi kaku.

Sandy adalah guru yang baik, sekaligus kuanggap kakak kesayangan. Meskipun kadang galak, tetapi aku menyukainya. Bahkan saat terakhir, ia menyatakan sayangnya padaku. Tetapi, oh, mungkin belum saatnya. Hingga aku belum bisa menemukannya hingga sekarang.

Aku menggigit bibir bawahku. "San, aku juga cinta kamu, meski dulu tak sempat aku katakan padamu." batinku.

***

Hari itu aku memasang plang nama. "Studio Tari Icha".

Dengan perasaan bahagia, karena cita-cita melanjutkan alur jiwaku ke tari tercapai. Bahagiaku dengan tarian membubung bersama beberapa muridku. Bahkan, sudah ada rencana performa hingga dua bulan ke depan. Harus maksimal latihannya.

Koreografi yang aku buat, menceritakan tentang seorang gadis mencari kekasihnya. Aku memang tidak ikut terlibat sebagai pemain. Tetapi jiwaku ada di sana. Dan tarian itu cerminan hatiku. Murid-muridku kebanyakan teman Intan. Mereka penurut dan sangat berbakat. Beruntungnya diriku.

Intan sebagai bintang utamanya. Memang kadang susah mengajari adik sendiri. Tetapi akhirnya ia sendiri yang menemukan jiwanya. Ia telah menemukan soulnya.

Untuk performa perdana, sejumlah tiket telah terjual. Cukup bagus untuk persembahan awal. Ilmu yang aku serap dari belajar selama tiga tahun, aku tumpahkan seluruhnya. Juga menyerap ilmu penataan panggung dari Sandy. Ia ahlinya.

Perfect! Aku merasa ini sudah sesuai dengan keinginanku. All out! Aku tak mau kehilangan momen penting yang bisa menentukan masa depan studio tari milikku.

Saatnya performa. Hari yang ditunggu dengan kecemasan yang maksimal. Aku sudah memasrahkannya semua pada Intan dan temannya. Semua tergantung mereka sekarang.

Wajah tegang jelas tergambar. Setiap gerakan mereka, bagai irama yang melambat. Akhirnya melunak oleh penampilan Intan yang sempurna. Aku tidak menyangka, ia memiliki bakat yang terpendam seperti diriku. Menari dengan hati dan jiwanya. Ataukah ia merasa seperti mewakiliku?

Standing applause menggema hampir tak putus hingga beberapa menit lamanya. Penonton seolah terbius oleh performa mereka. Aku bisa bernafas lega.

Saatnya aku naik panggung. Sebagai pencipta tari, aku berhak berdiri di sana. Aku sangat bahagia. Perjuanganku tak sia-sia. Dan studio tari yang kumiliki, ke depannya akan memperoleh nama. Aku yakin, diantara penonton, ada sponsor yang bisa mendukungku. Aku tak takut lagi.

Tiba-tiba ada kejutan. Seseorang membawa rangkaian bunga yang akan diberikan padaku. Tetapi bukan bunga yang membuatku terpaku. Pembawanya!

"Selamat, Icha. Kamu sukses. Aku ikut bahagia," katanya sambil memberikan bunga dan mencium kedua pipiku. Aku masih terpaku. Tak bisa mengatakan apa-apa. Ini benar-benar kejutan.

Aku memandang Intan. Ia hanya tersenyum, menandakan bahwa ia tahu sebelumnya. Atau jangan-jangan ia yang telah merencanakannya?

"Icha, maukah kau menari denganku? Lama aku tak menari denganmu," pintanya.

Aku masih kebingungan. Lalu suara semangat menggema di dalam gedung pertunjukan. Serempak dan aku tak bisa menolaknya.

"Menari... menari... menari...," seru mereka kompak.

Suara musik mengusikku. Jiwaku terbawa alunannya. Menarilah aku dengannya. Serasa de javu.

"Jiwamu memang untuk menari, Cha." katanya.

"Mengapa menghilang dan baru sekarang datang?"

"Aku bukan menghilang. Hanya bersembunyi."

"Kamu membuatku bagai layang-layang putus. Terseok-seok mencari arah angin. Mencarimu."

"Dan aku sekarang ada di depanmu. Ini aku, Cha." katanya sambil tetap menari.

Matanya tak lepas memandangku. Tarian ini spontanitas. Tak ada rancangan sebelumnya. Hanya mengikuti irama. Tetapi aku dan dia menyatu dalam tarian. Jiwaku ada di sana. Jiwanya, mengimbangi tarian yang spontan tercipta. Sempurna. Karena ada cinta? Juga rindu yang menggunung? Entahlah.

Irama musik berhenti. Tarian berakhir. Applause tak putus menggema. Penonton senang dan bahagia. Penari kesayangan mereka telah kembali.

***

Semarang, 19 Juli 2019.

For: my dear friend, semangatmu juga semangatku, loh! Keep strong ya... 🤗

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun