Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kita yang Hidup dalam Cerita

20 Oktober 2018   16:58 Diperbarui: 7 November 2018   17:01 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: favim.pl

Arjani

Sepasang mata redup itu kini tampak menyala. Apakah lelakiku tidak tahu bahwa aku memujanya? Untuk menjadi belahan jiwanya, aku membutuhkan waktu yang begitu panjang. Mengapa harus kusia-siakan? Segala cara telah kutempuh agar bisa bersamanya. Meski aku tak pernah mengucapkannya. Aku hanya menyampaikannya lewat tatapan mata sendu dan setumpuk kecemasan. 

Suatu hari, aku segera datang dalam hitungan menit hanya untuk mendengar keluhannya. Karena ia membutuhkan pertolonganku. Itu cinta, bukan? Meski aku pernah mengeluh, bahwa berada di dekatnya adalah sesuatu yang terkadang membingungkan. Sejujurnya, aku tak sanggup berada jauh darinya. Mengapa ia menatapku seperti itu?

Darojati

"Kertas-kertas ini bukan kisah tentang kita!" Aku memunguti kertas-kertas yang bertebaran dan melemparkannya ke udara dengan kalap. "Lihat aku! Lelakimu! Aku bukan tokoh dalam benakmu. Aku nyata!" Kuraih kerah piamanya. Aku ingin menatap dalam-dalam sepasang mata bundarnya, lalu mengusir pikiran-pikiran celaka yang bercokol di dalamnya. Aku ingin merampasnya kembali, karena seluruh dirinya seharusnya adalah milikku, belahan jiwaku.

Arjani

Kemarahannya membuatku tersentak. Mungkin, ia belum menyadari sesuatu. Siapa yang pernah melindungi bayang-bayangnya, agar ia tak bertengkar dengan siapa pun? Khilaf dan lalai kerap mengikutinya tanpa disadarinya. Akulah yang menyingkirkannya. Ia selalu berjalan di depanku, menjadikanku pengamat sejati sekaligus penjaganya. Ia jumawa. Apalagi di saat api kemarahan berkobar. Suara amuk, pecahan kaca, dan kenangan yang terluka di atas seprai kusut. Suara-suara itu memekakkan telingaku. Merusak ide-ide dalam benakku. Tidak cukupkah semua itu?

Darojati

"Sudah cukup mimpi-mimpimu itu. Cukup kataku. Bangunlah sekarang, atau... kata kita akan musnah. Selamanya." Kedua tanganku terkepal. Kemarahan terasa menghancurkanku perlahan. Aku tahu, aku sedang membunuh diriku sendiri.

Arjani

Apakah selama ini aku telah menyakitinya? Aku selalu berusaha agar ia tak pernah terluka. Meski sekecil apa pun. Seluruh dirinya kujaga dalam pelukan. Tanpa gerutu. Apakah kemarahan-kemarahan itu telah membelenggu hatinya? Hingga serupa jelmaan bintang yang hampir meledakkan seluruh alam raya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun