Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Antara Nama Sama dan Berbuka Sebelum Waktunya

22 Mei 2018   08:42 Diperbarui: 22 Mei 2018   11:07 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com

Cerita 1

Pada saat bulan puasa, entah tahun berapa. Yang saya ingat, masih SD. Puasa berarti libur sekolah. Dua minggu sebelum lebaran, dulu sudah libur. Biasanya sih, seluruh keluarga berkumpul. Mulai yang sudah kuliah, SMA dan yang di bawahnya. Karena saya memiliki keluarga banyak, tujuh bersaudara. Antar saudara terpaut satu tahun hingga tiga tahun. Dan yang unik, tujuh bersaudara memiliki nama depan yang sama: Wahyu. Baik yang laki-laki maupun perempuan.

Nama pemberian orang tua, harus diterima dan tidak boleh protes. Pernah saat kecil saya protes, kenapa nama saya paling pendek, hanya dua kata. Sedangkan yang lain memiliki nama tiga hingga empat kata. Jawab orang tua, namaku adalah nama yang paling indah. Anak perempuan yang cantik. Mendengar jawaban yang begini, saya hanya manggut-manggut, padahal serius, masih penasaran. Hahaha... Apalah arti sebuah nama.

So, kembali kepada nama yang sama, Wahyu. Ada cerita lucu yang bikin teringat hingga kini. Apalagi jika membayangkannya kembali. Maka akan tersenyum sendiri. Pada saat itu bulan puasa, liburan, berkumpul dan santai. Boleh membaca, bermain ke rumah teman atau molor sampai siang. Acara bebas. Saya lebih suka memilih membaca.

Kedua kakak saya yang paling besar dan nomor tiga, laki-laki. Hampir sebaya, karena terpaut usia tiga tahun. Sudah kuliah. Nah, pada saat itu mereka berdua memilih tidur setelah sahur dan belum bangun sampai siang hari.

Tiba-tiba ada tamu mengetok pintu. Saya yang ada di ruang tamu, membuka pintu. Laki-laki sebaya kakak saya.

"Wahyunya ada, dik?"

"Ada, mas. Duduk dulu."

Biasanya jika ada teman yang mencari nama Wahyu bukan dengan nama panggilan, secara otomatis akan disesuaikan dengan usia sebaya. "Pasti ini mencari mas Anto." pikir saya. Mas Anto adalah nama panggilan kakak nomer tiga. Ups, masih tidur. Padahal susah loh banguninnya. Apalagi kadang pakai marah segala, tidak mau dibangunkan karena masih mengantuk. Akhirnya dengan segala daya upaya, mas Anto bangun.

"Mas, tuh dicari temannya," kataku.

"Mana?"

"Lagi duduk di teras tuh,"

Dengan masih terkantuk dan wajah yang kucel karena bangun tidur, mas Anto keluar. E tapi, kenapa kok malah bengong. Kebingungan. Temannya juga. Malah nanya, Wahyunya ada. Loh, gimana sih? Kan temannya, mosok lupa?

Owalah... ternyata salah panggil. Yang dimaksud itu mas Nonot, kakak saya yang nomer satu. Huiii... marah dong mas Anto. Padahal baru asik tidur. Mana susah lagi ngebanguninnya. Sambil cemberut mas Anto masuk rumah dan memanggil mas Nonot. Hahaha... Yah, maaf salah panggil....

Itu terjadi karena memiliki nama sama: Wahyu dan hampir sebaya. Hehehe...

Cerita 2

Masih SD juga. Pada bulan puasa. Mulai berlatih untuk puasa. Pada saat sahur, tentu saja ikut sahur. Namanya juga baru latihan. Berat banget rasanya menjalani puasa. Menunggu sore hari juga terasa lama. Mau tidur, bosan. Membaca, tidak konsentrasi karena memikirkan perut yang keroncongan. Tidak enak semua.

Tetapi bapak saya selalu menyemangati, agar saya tetap berpuasa. Meskipun saya bilang ke bapak saya, "Pak, saya puasa bedug saja ya. Nggak kuat nih. Lemas rasanya." kata saya sambil memelas. Tetapi bapak saya berkata, "Eman-eman."

Puasa bedug pada zaman dulu adalah lazim, sebutan puasa buat yang sedang latihan. Yaitu puasa hanya hingga tengah hari pada saat azan dhuhur. Boleh makan dan minum. Kemudian puasa kembali hingga magrib tiba. Ada juga puasa sapi atau habis puasa diusapi mulutnya. Artinya tidak puasa, karena tetap makan minum dan habis makan minum mulutnya diusapi dengan serbet. Hehehe.... Sekarang masih ada nggak, ya istilah tersebut?

Lalu karena bapak membujuk agar puasa diteruskan. Maka sayapun bertahan berpuasa. Dengan kekuatan yang ada, melanjutkan puasa. Tetapi pertahanan itu akhirnya jebol. Pukul lima sore saya sudah lemes banget. Rasanya mual. Lalu saya bilang ke bapak, "Pak, saya buka puasa ya. Sudah nggak kuat." Demi melihat saya yang begitu memelas dan pandangan sayu, akhirnya bapak mengijinkan saya berbuka. Padahal waktu buka tinggal sebentar lagi. Hanya beberapa menit saja. Yah... sayang deh. Batal puasa sebelum waktunya berbuka. Jika saja bapak pada saat itu tak mengijinkan saya untuk berbuka, mungkin saya sudah pingsan. Hahaha....

Lucu juga ya, karena masa kecil kadang belum bisa mengendalikan diri, menahan puasa hingga magrib. Jika teringat jadi senyum sendiri, deh.

Foto kenangan bersama alm Bapak saat masih SD. Masih suka manja. Hehehe... (dokpri).
Foto kenangan bersama alm Bapak saat masih SD. Masih suka manja. Hehehe... (dokpri).
Nah, selamat berpuasa, semoga lancar dan bisa menambah amal kebaikan. Pertahankan hingga lebaran ya. Hari kemenangan. Aamiin....

Semarang, 22 Mei 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun