Paris Saint-Germain (PSG) meraih kemenangan mencolok 5-0 atas Inter Milan dalam final Liga Champions 2024/2025 di Allianz Arena, Munich, Minggu (1/6/2025) dini hari WIB. Hasil ini menjadi kemenangan paling telak dalam sejarah final Liga Champions, karena sebelumnya tidak pernah ada klub yang kebobolan lima gol tanpa balas di partai puncak. Kemenangan ini tidak hanya menjadi pencapaian monumental bagi klub asal Prancis tersebut, tetapi juga menandai potensi awal dari era baru dominasi PSG di kancah sepak bola Eropa.
PSG tampil dominan sepanjang pertandingan dengan menguasai 60% penguasaan bola dan melepaskan 23 tembakan, 8 di antaranya tepat sasaran. Pertahanan yang solid dan serangan yang tajam membuat Inter Milan kesulitan mengembangkan permainan. Pemain muda berusia 19 tahun, Desire Doue, menjadi man of the match di pertandingan itu setelah mencetak dua gol dan satu assist. Pencapaian ini menjadikannya pemain termuda yang berhasil mencetak dua gol dan memberikan assist dalam sejarah final Liga Champions.
Gol-gol PSG lainnya dicetak oleh Achraf Hakimi pada menit ke-12. Di babak kedua, Khvicha Kvaratskhelia menambah keunggulan pada menit ke-73. Senny Mayulu, pemain pengganti yang juga berusia 19 tahun, turut mencatatkan namanya di papan skor pada menit ke-86. Rentetan gol ini menunjukkan kedalaman skuad PSG dan efektivitas strategi yang diterapkan oleh pelatih Luis Enrique.
Inter Milan tampil di bawah performa terbaik mereka, hanya mampu melepaskan 8 tembakan dengan 2 di antaranya tepat sasaran. Lini tengah mereka, yang biasanya menjadi kekuatan, tidak mampu mengimbangi intensitas permainan PSG. Pertahanan Inter juga terlihat rapuh sehingga harus kebobolan lima gol tanpa balas. Kiper Yann Sommer bekerja keras sepanjang pertandingan, namun tidak mampu mencegah gawangnya kemasukan gol lebih banyak. Pelatih Inter, Simone Inzaghi, perlu melakukan evaluasi mendalam untuk mengembalikan performa terbaik timnya di kompetisi mendatang.
Kemenangan gemilang ini tidak hanya sekadar trofi, tetapi juga sebuah pernyataan tegas yang menandai puncak transformasi PSG. Klub ibu kota Prancis ini telah berhasil melepaskan diri dari citra tim yang semata-mata mengandalkan kemilau bintang-bintang individu, menuju sebuah unit kolektif yang solid, lapar, dan dibangun di atas pondasi pemain muda berbakat. Banyak pengamat sepakat bahwa apa yang dipertontonkan skuad asuhan Luis Enrique di Munich jauh melampaui ekspektasi dan bahkan terasa lebih meyakinkan dibandingkan era ketika klub diperkuat oleh trio megabintang sekaliber Kylian Mbapp, Neymar Jr., dan Lionel Messi, maupun generasi pemain bintang sebelumnya.
Jika dulu sorotan utama kerap tertuju pada kemampuan individu untuk memecah kebuntuan atau sihir satu pemain yang menentukan hasil akhir, kini PSG menampilkan harmoni permainan tim yang matang. Disiplin taktis yang tinggi, transisi permainan yang cair, dan intensitas yang konsisten sepanjang 90 menit menjadi pemandangan umum. Ironisnya, justru dengan pendekatan yang lebih mengedepankan kolektivitas inilah PSG mampu meraih trofi Liga Champions dengan cara yang begitu dominan, sesuatu yang gagal dicapai oleh skuad bertabur bintang meskipun dengan investasi finansial yang luar biasa besar di masa lalu. Kemenangan dengan skor setelak 5-0 di partai puncak menjadi bukti tak terbantahkan akan superioritas filosofi baru yang diusung Luis Enrique.
Keberanian sang pelatih untuk memercayai dan mengintegrasikan talenta-talenta muda seperti Desire Doue dan Senny Mayulu ke dalam sistem permainannya yang menuntut terbayar lunas dengan penampilan impresif dan kontribusi gol krusial. Dengan rata-rata usia skuad 23,7 tahun menurut data Transfermarkt, PSG tidak hanya menunjukkan bahwa investasi jangka panjang dalam pengembangan pemain muda dapat menghasilkan kesuksesan instan di level tertinggi. Lebih dari itu, Les Parisiens mengirimkan pesan kuat ke seluruh Eropa bahwa dominasi bisa dibangun melalui visi, strategi, pembinaan berkelanjutan, dan kepercayaan pada potensi internal, bukan hanya melulu melalui pembajakan pemain mahal di bursa transfer. Kemenangan ini bisa menjadi cetak biru bagi klub lain dan berpotensi mengubah lanskap persaingan serta strategi pengembangan tim di masa mendatang.
Di sisi lain, kekalahan telak yang dialami Inter Milan ini menjadi tamparan keras dan panggilan untuk introspeksi mendalam. Ini bukan hanya soal skor akhir, melainkan juga tentang ketidakmampuan mereka untuk merespons dinamika dan intensitas permainan PSG. Nerazzurri tampak kewalahan, kalah di hampir setiap lini, dan tidak menunjukkan karakter juara yang diharapkan di panggung sebesar ini. Hal ini jelas menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh, kemungkinan regenerasi skuad yang mungkin sudah memasuki akhir siklus keemasannya, dan pembaruan strategi yang lebih adaptif jika mereka ingin kembali bersaing secara kompetitif di kancah Eropa yang semakin dinamis dan menuntut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI