Mohon tunggu...
Vunny Wijaya
Vunny Wijaya Mohon Tunggu... Human Resources - Analis/Pemerhati Kebijakan Publik - Peneliti Sosial

Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia'17 I ISS Sungkyunkwan University, Korea Selatan'18 I Sosiologi Pembangunan Universitas Negeri Jakarta'09

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Wacana Kebijakan ERP di Jakarta dan Praktiknya di Singapura dan Stockholm

17 Januari 2023   14:01 Diperbarui: 18 Januari 2023   12:08 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan ERP di South Bridge Road, Singapura (Foto: Vunny Wijaya, 21 Oktober 2022, pukul 06.37 SGT)

Wacana kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau Jalan Berbayar Elektonik, kini semakin menguat untuk diterapkan di Jakarta. Kebijakan ini sudah terdengar sejak tahun 2006 di era Gubernur Sutiyoso. 

Kebijakan manajemen lalu lintas ini akan memungut biaya transportasi dari pengendara yang melintas di kawasan ERP. Kemacetan lalu lintas yang semakin parah, disertai dengan berbagai dampak negatifnya, menjadi alasan utama penerapan ERP di Jakarta. 

Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2019, kemacetan di Indonesia telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Hasil proyeksi kemacetan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia menimbulkan kerugian paling sedikit sekitar Rp56 triliun. Jumlah itu setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Total kerugian akibat macet di Jakarta saja mencapai Rp36 triliun. Asumsi kerugian tersebut dihitung dari aspek waktu perjalanan dan konsumsi bahan bakar.

Sebelumnya, pada tahun 2018, Tim Studi Proyek Integrasi Kebijakan Transportasi Perkotaan Jabodetabek Tahap 2, yang merupakan proyek kerja sama antara Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian dan Japan International Cooperation Agency (JICA), melaporkan bahwa estimasi kerugian akibat macet di wilayah Jabodetabek mencapai sebesar Rp100 triliun. 

Perhitungan ini menyimpulkan bahwa setiap orang di Jabodetabek kehilangan Rp3 juta per tahun akibat kemacetan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 133 telah membuka jalan diberlakukannya ERP. Secara lebih spesifik, menyebutkan bahwa pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu, dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas. 

Retribusi ini akan diperuntukkan bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo (2022) menjelaskan bahwa regulasi terkait ERP telah masuk dalam program pembentukan peraturan daerah (propemperda), dengan judul Rancangan Peraturan Daerah/Raperda Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE). Dengan kata lain, ERP menjadi prioritas untuk dikerjakan.

Focus Group Discussion (FGD) tentang pembahasan ERP juga telah dilaksanakan. Salah satu hasilnya adalah kewajiban menyelesaikan Perda sebelum melakukan tender kepada pihak ketiga. 

Sebagaimana diketahui, di era Gubernur Anies Baswedan, proyek ERP tertunda karena dua peserta lelang, yaitu Q Free ASA dan Kapsch TrafficCom AB mengundurkan diri, dan hanya menyisakan satu vendor, yaitu PT Bali Towerindo Sentra. Keberadaan Perda akan menjadi landasan hukum yang kuat dalam praktik penerapan ERP di Jakarta.

Praktik Kebijakan ERP di Singapura dan Stockholm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun