Mohon tunggu...
Vinia Rizqi Primawati
Vinia Rizqi Primawati Mohon Tunggu...

A young lady..mencari saya yang lain yang bukan saya.\r\nSky admirer, simply, funny.\r\n \r\nSometimes, you don't have to think too much, just go where your heart takes you :) \r\n\r\nNEKAT boleh, tapi berTEKAD

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Blengur, Bapaknya, dan Kita...!

10 Mei 2012   18:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blengur. Bukanlah semacam nama yang mirip dengan rujak cingur, atau nama makanan khas yang lainnya. Blengur adalah sebutan bagi seorang anak lelaki, masih kecil, asal Jogja, yang selalu merantau kemanapun dan kapanpun, sambil berjalan kaki. Mengelilingi kota yang saat ini dijuluki dengan sebutan The City Of Tolerance, Yogyakarta.

Pakaiannya yang lusuh, dan hampir selalu sama setiap kali saya bertemu dengannya. Begitu juga sore ini dibawah gelapnya mendung. Di suatu sudut jalan, di daerah rahayu. Masih selalu sama, seperti hari – hari lainnya. Dan..tentu saja, dia diikuti oleh seorang bapak – bapak, yang juga berpakaian compang – camping. Membawa tongkat, dengan tatapan mata merana dan rambut yang mulai beruban semua. Juga tentang guratan di wajahnya yang menggoreskan luka – luka lama. Yang masih saja ada selama bumi masih berputar.

Siapapun warga Jogja, yang sedang berkeliling kota, tentu akan hapal dan sering melihat dua sejoli ini. Berbagai daerah dan tempat yang ada di Jogja sudah mereka ambah, mereka berjalan terus, tanpa arah. Tanpa tujuan. Hanya berharap mampu membuat kekecewaan masa lalu yang sirna. Sang bapak seolah selalu terbayang kejadian di masa lalunya yang ckup pahit baginya.

Dia bercita – cita ingin menjadi seorang tentara. Berbagai latihan dan upaya telah dia lakukan, agar dia bisa menjadi seseorang yang membanggakan, seeorang pembela negara.  Dan dia sangat berharap bisa diterima di salah satu sekolah militer yang ada di Jogja. Namun, apa dikata, dia tidak diterima menjadi seorang tentara. Lalu kemudian dia frustasi,, menganggap dunia ini tidak adil. Kemudian dia hampir saja stress sebab tak diterima sebagai tentara. Dan lalu dia pun menikah, memiliki istri dan anak, si Blengur. Dan dia bekerja sebagai seorang wiraswasta. Namun, beberapa saat kemudian usahanya bangkrut, dia terkena tipu oleh seseorang yang menjanjikan kerjasama dengannya. Istrinya pun pergi, meninggalkannya. Meninggalkannya dalam keterpurukan. Dia pun hidup dalam kebimbangan, sampai dengan sekarang.

Berkali – kali saya temui dia bersama si Blengur, menjelajah semua sudut kota Jogja, hanya dengan berjalan kaki. Sebenarnya dahulu ada sepeda onthel yang selalu mengiringinya, namun entah kenapa, 2 tahun ini sudah tidak lagi ditemani sepeda tuanya.

Di semua tempat saya pernah melihatnya, jl.godean, wates, jl.kaliurang,  adisucipto, jl jogja-solo, di candi prmbanan, perempatan godean, jl.parangtritis. Ah, semuanya. Keduanya bak sejoli yang tak dipisahkan. Mereka terus menjalani hidup di remang- remangnya jalan. Gelapnya kolong jembatan, dan juga singgah dari warung ke warung. Bahkan seringkali si blengur digendong di pundak bapaknya. Bapak yang juga sering tertawa sendiri. Sang blengur pun pernah suatu kali saya temui, sedang menyeka keringat bapaknya. Keduanya terus berjalan, Destination nowhere, beriringan, memandang dunia yang menyapa mereka dengan kejam. Berdua menempuh jarak puluhan kilo dengan sandal dan pakaian seadanya. Berdua menyusuri semua aspal yang kadang tak ramah ketika panas merajalela.

Yah, seperti sore ini, di perempatan ring road, mereka lagi-lagi berduet, melawan kebul dari bis – bis di jalan raya. Melawan pandangan sinis orang – orang yang ada di dalam mobil mewah. Tapi, mereka itu potret sederhana, tentang suatu kesetiaan. Kesetiaan dan hubungan timbal – balik antara bapak dengan anak lelakinya. Walau dia tampak tak waras dimata orang lain, namuan baik keduanya sama sekali tak pernah meninggalkan satu sama lain.

Mereka terus berjuang melawan hidup yang semakin hari semakin meranggas habis, menguji kesabaran setiap manusia.

Ah, bila suatu kali, kamu, anda, saudara ketika di Jogja,bertemu dengan dua orang sosok, dimana sang lelaki memakai memakai tongkat, memiliki kumis, berambut penuh uban, tinggi tegap dan berkulit hitam. Sedangkan  di belakangnya selalu ada seorang anak, yang berjalan terhuyung – huyung, dengan mulut menganga, tangan yang terjulur ke depan, serta kurus dan tak terurus, itu Blengur! Tapi, jangan panggil dia, atau sesekali memberinya uang, kalau tak mau dipukul oleh bapaknya.

Blengur, kamu dan bapakmu, yang mungkin sebagian orang Jogja pernah melihatmu, adalah contoh nyata tentang sebuah kesetiaan, yang bahkan telah keluar jauh dari ranah kesadaran.

Tulisan ini buat semua orang Jogja, atau buat semua yang cinta Jogja, dan juga untuk dua sosok itu,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun