"Brand kuat tanpa adaptasi itu seperti kapal megah tanpa arah---terlihat kokoh, tapi mudah karam saat ombak datang."Â
Setelah 33 tahun menghiasi dapur dan obrolan ibu-ibu arisan di Indonesia, Tupperware resmi pamit. Bukan karena produknya buruk, bukan juga karena orang tak butuh tempat makan lagi. Tapi karena dunia bergerak lebih cepat dari yang mereka sangka, dan Tupperware---dalam banyak hal---tertinggal.
Penutupan ini bukan sekadar berita bisnis biasa. Ia adalah momen refleksi: bagi perusahaan, bagi pemilik usaha, dan bagi siapa saja yang masih percaya bahwa kekuatan brand bisa bertahan tanpa adaptasi.
1. Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Tupperware Brands Corporation, perusahaan asal Amerika yang berdiri sejak 1946, mulai menunjukkan tanda-tanda krisis global sejak beberapa tahun terakhir. Penurunan pendapatan global mereka konsisten sejak 2019, dan puncaknya: pada 2023, mereka bahkan mengakui secara terbuka bahwa perusahaan bisa bangkrut jika tak segera diselamatkan.
Di Indonesia sendiri, model bisnis direct selling (penjualan langsung via reseller, bukan toko atau online) jadi tulang punggung. Tapi sayangnya, justru inilah akar masalahnya: dunia sudah pindah ke digital, sementara mereka masih mengandalkan katalog dan presentasi rumah ke rumah.
Statistik: Menurut Statista, kontribusi direct selling terhadap total ritel global turun dari 2,4% (2015) menjadi hanya 1,6% (2023). Sementara e-commerce melonjak lebih dari 100% di periode yang sama.
2. Siapa yang Paling Terdampak?
a. Para Karyawan dan Mitra Penjual