Latar Belakang
Perang sipil di Suriah sudah menempuh tahun ke-14 sejak dimulainya pada tahun 2011 silam. Perang tersebut dimulai karena tindakan penindasan demonstran yang dilakukan oleh pemerintah Suriah yang diduduki oleh Presiden Bashar al-Assad. Tindakan tersebut membuat demonstran mengangkat senjata untuk melawan pemerintah Suriah, dan hasilnya, perang sipil Suriah terjadi.Â
Perang tersebut mengembang dengan perjalanan waktu, garis depan atau wilayah penguasaan yang berganti, dan munculnya pihak-pihak yang terlibat. Salah satu pihak tersebut yang akan mengubah peperangan secara drastis adalah Hayat Tahrir al-Shams. Hayat Tahrir al-Shams, atau disingkat menjadi HTS, adalah organisasi pemberontak dan politik yang dibentuk pada tanggal 28 Januari 2017 di Idlib, Suriah. Organisasi tersebut didirikan oleh Hashim al-Shaykh, yang dibentuk dari gabungan beberapa kelompok jihadist yang bersatu untuk menguatkan pemberontakan terhadap pemerintah Bashar al-Assad. Selain menjadi kelompok pemberontak, Hayat Tahrir al-Shams mendirikan pemerintahan sendiri yang bernama Syrian Salvation Government atau pemerintah penyelamat Suriah, pada tanggal 2 November 2017 yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, pemimpin baru Hayat Tahrir al-Shams.Â
Pada akhir November 2024. Terjadi perubahan yang besar pada perang yang telah berumur 13 tahun, yakni penyerangan terhadap pemerintah Bashar al-Assad yang dipimpin oleh HTS. Penyerangan tersebut dilakukan dengan cepat dan efektif, dimana HTS dan beberapa pemberontak oposisi mampu menaklukan mayoritas wilayah dan beberapa kota yang awalnya diduduki oleh pemerintah Bashar al-Assad. Dan pada 8 Desember 2024, pemberontak oposisi telah mengambil alih ibu kota Suriah, Damaskus, dan Bashar al-Assad serta keluarganya kabur menuju Russia. Peristiwa tersebut telah mengakhiri pemerintah keluarga Assad dan partai Ba'ath yang berkuasa selama lebih dari 50 tahun, serta mengakhiri peperangan terhadap pemerintah Suriah.Â
Penaklukan Damaskus yang dilakukan oleh pemberontak pada tanggal 8 Desember disambut dengan meriah oleh mayoritas penduduk Suriah yang telah lama hidup di bawah pemerintah diktator dan otoriter. Setelah penaklukan, di hari yang sama, terbentuknya pemerintah pengasuh untuk mengatasi kestabilan negara, mengurus fasilitas sipil dan merencanakan sebuah pemerintah transisi. Dan pada tanggal 29 Maret 2025, terbentuknya pemerintah transisi Suriah yang dipimpin oleh presiden Ahmed al-Sharaa, pemimpin Hayat Tahrir al-Shams dan Syrian Salvation Government. Pemerintahan ini akan berjalan selama 5 tahun untuk membentuk pemerintah Suriah yang baru.Â
Kekhawatiran
Beberapa di kalangan penduduk Suriah dan masyarakat dunia khawatir dengan kedudukan Ahmed al-Sharaa sebagai presiden pemerintah transisi, serta HTS yang merupakan pihak dominan, meskipun HTS dibubarkan pada tanggal 29 Januari 2025 dan menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Suriah, kekhawatiran tersebut berlanjut, dan disebabkan oleh beberapa hal dan perkara, seperti, sejarah Ahmed al-Sharaa dan sejarah serta ideologi HTS.
Penduduk Suriah dan masyarakat dunia khawatir bahwa Suriah akan menjadi negara seperti Afganistan, dimana, pada Agustus 2021, organisasi Taliban menguasai Afganistan dan menerapkan hukum Syariah serta hukum adat. Penerapan hukum-hukum tersebut berpengaruh terhadap kebebasan sipil di Afganistan, terutama wanita. Kekhawatiran tersebut dikaitkan dengan sejarah HTS dan ideologinya.Â
Untuk sejarah, salah satu organisasi sebelum terbentuknya HTS, Jabhat al-Nusra, yang didirikan oleh Ahmed al-Sharaa, memiliki relasi yang erat dengan Al-Qaeda, organisasi teroris yang dicap oleh seluruh dunia. Sama halnya dengan Taliban dan Al-Qaeda, dimana keduanya memiliki hubungan yang erat, terutama penyembunyian Osama bin Laden di Afganistan ketika Peperangan Global Melawan Terorisme. Perkara tersebut juga membuat HTS dicap sebagai organisasi teroris oleh beberapa negara dan organisasi seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris.
HTS menganut ideologi Sunni islamisme dan fundamentalisme. Kedua ideologi tersebut bersifat konservatif dan mengedepankan Islam dalam urusan politik, terutama Sunni Islam. Penerapan ideologi tersebut terlihat di daerah Idlib, daerah kekuasaan Syrian Salvation Government, dimana pemerintah tersebut menerapkan hukum Syariah. Perkara tersebut membuat penduduk Suriah yang non-beragama Islam dan Islam sekte lainnya, serta aktivis di Suriah dan dunia khawatir bahwa Suriah akan menjadi negara Syariah dan mengedepankan Sunni Islam. Selain itu, ada kekhawatiran balas dendam bagi masyarakat Alawi, sekte dimana keluarga Al-Assad berasal dan diutamakan pada masa rezimnya.Â
Tanggapan Al-SharaaÂ