Fenomena krisis tenaga kerja kini tidak hanya menimpa negara berkembang, tetapi juga mengguncang negara-negara maju semisal Inggris, Prancis, Amerika Serikat, bahkan Cina.
Sejumlah data terkini mengungkapkan meningkatnya pengangguran. Lebih jauh, muncul fenomena sosial unik: sebagian orang rela berpura-pura sibuk bekerja, bahkan ada yang menerima pekerjaan tanpa upah, semata agar dianggap memiliki status pekerjaan.
 Di Indonesia sendiri, meski angka pengangguran nasional sedikit menurun, namun realitas di baliknya justru menunjukan kenyataan pahit bahwa separuh pengangguran didominasi oleh anak muda.
Generasi muda yang seharusnya menjadi tulang punggung peradaban malah terjebak dalam lingkaran pengangguran. Banyak lulusan perguruan tinggi maupun sekolah vokasi yang tidak terserap dunia kerja. Sementara itu, industrialisasi bukannya menciptakan lapangan kerja baru, malah dihantam badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Fenomena ini  jelas menunjukkan bahwa sistem ekonomi global yang berbasis kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan.
Kapitalisme Gagal Menyediakan Lapangan Kerja
Kapitalisme dibangun di atas logika akumulasi modal. Seluruh aktivitas ekonomi diarahkan untuk mencetak keuntungan setinggi-tingginya, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil. Karena itu, ketika industri mengalami tekanan, yang pertama dikorbankan adalah tenaga kerja. PHK massal, upah murah, dan fleksibilitas kerja hanyalah konsekuensi logis dari sistem ini.
Di Indonesia, ketimpangan kekayaan semakin mempertegas wajah kapitalisme. Celios dalam laporan tahun 2024 mencatat jurang ketimpangan mencolok: harta 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan milik 50 juta penduduk. Artinya, kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kondisi serba sulit. Negara yang semestinya menjadi pengurus rakyat justru lepas tangan, menyerahkan urusan kerja sepenuhnya pada mekanisme pasar. Job fair, pelatihan vokasi, hingga program wirausaha hanyalah tambal sulam kapitalisme yang tidak menyentuh akar persoalan.
Analisis ini senada dengan pandangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), yang menegaskan bahwa kapitalisme secara struktural menciptakan ketidakadilan karena tidak memiliki mekanisme distribusi kekayaan yang adil. Kekayaan menumpuk pada pemilik modal besar, sedangkan mayoritas rakyat dibiarkan bersaing bebas tanpa perlindungan. Akibatnya, pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan menjadi penyakit kronis yang tak kunjung teratasi.
Peran Negara
Islam menawarkan konstruksi alternatif yang berbeda secara fundamental dari kapitalisme. Dalam Islam, negara dipandang sebagai raa'in (pengurus) yang bertanggung jawab penuh atas urusan rakyat, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Rasulullah bersabda: