Hubungan industrial di Indonesia selalu jadi isu hangat. Setiap kali ada berita mogok kerja, demo buruh, atau perusahaan tutup, publik kembali diingatkan bahwa dunia kerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga soal keadilan.
Secara ideal, hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah harus berjalan harmonis. Pekerja sejahtera, perusahaan maju, dan ekonomi stabil. Namun, kenyataan di lapangan jauh lebih rumit. Konflik selalu ada, dari soal kontrak, gaji, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Konflik yang Tak Terhindarkan
Dalam teori, ada tiga cara memandang hubungan industrial. Pertama, perspektif unitaris, yang menganggap perusahaan seperti keluarga besar dan satu kesatuan. Konflik dianggap tidak wajar. Kedua, perspektif pluralis, yang melihat organisasi sebagai kumpulan kepentingan berbeda. Konflik wajar, tapi bisa diselesaikan lewat perundingan. Ketiga, perspektif marxis, yang percaya bahwa hubungan kerja adalah arena persaingan antara pemilik modal dan pekerja.
Ketiga perspektif ini seolah nyata saat kita melihat kasus buruh di sebuah pabrik China di Indonesia
Kasus Pabrik China: Kontrak, Mogok, hingga PHK
Beberapa tahun lalu, buruh pabrik China menggelar protes besar. Intinya: mereka merasa terus-menerus dikontrak (PKWT) padahal pekerjaannya bersifat tetap. Padahal, UU No. 13 Tahun 2003 jelas menyebut kalau pekerjaan itu sifatnya tetap, maka pekerja berhak jadi karyawan tetap (PKWTT).
Bukan hanya soal kontrak, buruh juga melakukan mogok kerja. Menurut UU, mogok itu sah asal tertib dan diberitahu. Tapi perusahaan menyebut aksi itu “ilegal” karena dianggap tidak sesuai prosedur. Bentrok tafsir pun terjadi: buruh merasa berhak, manajemen merasa dirugikan.
Situasi makin pelik ketika isu PHK massal muncul. UU tegas: perusahaan yang melakukan PHK harus membayar pesangon, penghargaan, dan penggantian hak.
Di sinilah peran serikat buruh dan pemerintah diuji. UU mendorong serikat pekerja sebagai pembela hak buruh, sementara pemerintah menjadi penengah. Setelah pabrik tutup, negosiasi akhirnya dilakukan agar pekerja tetap mendapatkan haknya, bahkan sebagian ada yang direncanakan direkrut kembali.