Mohon tunggu...
Visca Rusdiyanti
Visca Rusdiyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Universitas Islam Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Hubungan Industrial: Kasus Buruh Pabrik China dan UU No. 13 Tahun 2003

12 September 2025   10:56 Diperbarui: 12 September 2025   11:20 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan industrial di Indonesia selalu jadi isu hangat. Setiap kali ada berita mogok kerja, demo buruh, atau perusahaan tutup, publik kembali diingatkan bahwa dunia kerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga soal keadilan.

Secara ideal, hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah harus berjalan harmonis. Pekerja sejahtera, perusahaan maju, dan ekonomi stabil. Namun, kenyataan di lapangan jauh lebih rumit. Konflik selalu ada, dari soal kontrak, gaji, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Konflik yang Tak Terhindarkan

Dalam teori, ada tiga cara memandang hubungan industrial. Pertama, perspektif unitaris, yang menganggap perusahaan seperti keluarga besar dan satu kesatuan. Konflik dianggap tidak wajar. Kedua, perspektif pluralis, yang melihat organisasi sebagai kumpulan kepentingan berbeda. Konflik wajar, tapi bisa diselesaikan lewat perundingan. Ketiga, perspektif marxis, yang percaya bahwa hubungan kerja adalah arena persaingan antara pemilik modal dan pekerja.

Ketiga perspektif ini seolah nyata saat kita melihat kasus buruh di sebuah pabrik China di Indonesia

Kasus Pabrik China: Kontrak, Mogok, hingga PHK

Beberapa tahun lalu, buruh pabrik China menggelar protes besar. Intinya: mereka merasa terus-menerus dikontrak (PKWT) padahal pekerjaannya bersifat tetap. Padahal, UU No. 13 Tahun 2003 jelas menyebut kalau pekerjaan itu sifatnya tetap, maka pekerja berhak jadi karyawan tetap (PKWTT).

Bukan hanya soal kontrak, buruh juga melakukan mogok kerja. Menurut UU, mogok itu sah asal tertib dan diberitahu. Tapi perusahaan menyebut aksi itu “ilegal” karena dianggap tidak sesuai prosedur. Bentrok tafsir pun terjadi: buruh merasa berhak, manajemen merasa dirugikan.

Situasi makin pelik ketika isu PHK massal muncul. UU tegas: perusahaan yang melakukan PHK harus membayar pesangon, penghargaan, dan penggantian hak.

Di sinilah peran serikat buruh dan pemerintah diuji. UU mendorong serikat pekerja sebagai pembela hak buruh, sementara pemerintah menjadi penengah. Setelah pabrik tutup, negosiasi akhirnya dilakukan agar pekerja tetap mendapatkan haknya, bahkan sebagian ada yang direncanakan direkrut kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun