Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan berencana memasukkan Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) ke dalam kurikulum sekolah sebagai media pembelajaran edukatif berbasis mobile. Rencana patut dipertimbangkan setelah diangkat oleh akun GGWP di TikTok, yang menampilkan kabar bahwa para guru sudah dilatih menyusun strategi pembelajaran baru menggunakan game tersebut. Tujuannya tidak hanya akademik, tetapi juga untuk menanamkan nilai karakter kepada siswa melalui game yang populer.
Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Tri Endang Kustianingsih, menjelaskan bahwa pihaknya berupaya membuat pembelajaran menjadi lebih seru dan bermakna dengan metode yang dekat dengan dunia siswa, termasuk melalui game online. Langkah ini tentunya menuai beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian menyambut positif pendekatan baru tersebut, tapi tak sedikit pula yang mempertanyakan efektivitas dan urgensinya.
Secara umum, penggunaan game dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru. Dunia pendidikan global sudah lama memanfaatkan teknologi interaktif untuk mendukung proses belajar mengajar. Bahkan, ada istilah khusus yang disebut "game-based learning", yakni metode pembelajaran yang menggunakan unsur permainan untuk mencapai tujuan edukatif. Namun, tidak semua game bisa dijadikan media pembelajaran yang efektif. Pilihan game yang digunakan sangat menentukan apakah proses pembelajaran akan bermakna atau justru mengarah ke distraksi.
Apakah Mobile Legends layak menjadi bagian dari kurikulum sekolah?
Mobile Legends adalah game bergenre Multiplayer Online Battle Arena (MOBA) yang sangat populer di Indonesia, khususnya di kalangan remaja. Game ini menuntut kerja sama tim, strategi, kecepatan berpikir, dan refleks yang baik. Beberapa pihak menilai unsur-unsur tersebut bisa menjadi sarana melatih soft skill siswa seperti komunikasi dan kerja tim. Namun, jika ditelaah lebih dalam, manfaat edukatif dari MLBB justru sangat minim bila tidak dibingkai secara ketat dalam konteks pembelajaran yang jelas dan terukur.
Tanpa pendekatan pedagogis yang matang, kemungkinan besar siswa hanya akan menghafal nama-nama item, role hero, dan build strategi dalam game. Ini tentu bukan bentuk pembelajaran yang esensial bagi kehidupan nyata atau perkembangan kognitif siswa. Bahkan, game seperti MLBB lebih cenderung mendorong kompetisi yang agresif, sering kali memicu perilaku toksik antar pemain, serta membuat pemain rentan terhadap kecanduan gawai.
Jika tujuannya adalah menjadikan game sebagai media edukasi yang bisa menanamkan nilai karakter dan mendorong kreativitas siswa, maka pilihan gamenya perlu dievaluasi ulang. Kalaupun MLBB ini masuk ke ranah pendidikan, akan lebih baik dimasukkan ke ekstrakurikuler daripada kurikulum pendidikan, "di buat eskul aja ga si?" kata Chenn. Bahkan ada yang berkomentar bahwa game Minecraft akan lebih cocok daripada MLBB karena dianggap lebih edukatif.
Minecraft merupakan game berbasis simulasi dan konstruksi dunia terbuka (sandbox). Dalam game ini, pemain bisa membangun rumah, bercocok tanam, membuat alat, menambang, bahkan menciptakan mesin sederhana menggunakan redstone. Game ini tidak memiliki tujuan eksplisit seperti memenangkan pertarungan, tapi lebih kepada eksplorasi, eksperimen, dan penciptaan. Wajar jika ada yang mengatakan Minecraft lebih edukatif.
Kelebihan Minecraft adalah kemampuannya mendorong siswa berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengembangkan kreativitas. Siswa bisa diminta membangun struktur bangunan berdasarkan konsep geometri, membuat ekosistem buatan untuk belajar biologi, atau menulis jurnal harian petualangan mereka di dalam game sebagai latihan literasi. Pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan bermakna karena siswa benar-benar mengalami prosesnya, bukan sekadar menghafal.